Pemberian Amnesti dan Abolisi untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Dikritik Pakar UGM

Para pakar UGM mengkritik Keputusan Presiden memberi amnesti dan abolisi kepada mantan Mendag Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

9 Agustus 2025, 06:05 WIB

Yogyakarta – Keputusan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, dan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menuai kritik tajam dari para pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

Pemberian pengampunan ini dinilai janggal karena keduanya merupakan terpidana kasus korupsi dan suap yang telah memiliki putusan hukum tetap.

Seperti diketahui, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden untuk menghapuskan pidana.

Namun, menurut Dosen Hukum UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, pemberian hak tersebut seharusnya didasari oleh motif politik atau rekonsiliasi yang bersifat nasional, bukan kepentingan sesaat.
Amnesti dan abolisi itu bahasa politik, bukan hukum.

Penggunaannya di Indonesia dalam perkembangannya digunakan pada kasus politik. Ada motif rekonsiliasi dalam kepentingan nasional,” ujar Dr. Zainal.

Dalam kasus Tom Lembong, Dr. Zainal mempertanyakan urgensi rekonsiliasi yang mendasari pemberian abolisi tersebut.

Menurutnya, jika proses hukum sudah berjalan dengan benar, seharusnya tidak ada alasan untuk mengintervensi dengan abolisi. Ia khawatir keputusan ini hanya didasari oleh motif politik, bukan kepentingan nasional.

“Ini jelas masalah politik, tapi masalahnya apa yang mau direkonsiliasi? Mungkin Presiden punya keretakan hubungan dengan pihak tertentu, tapi salah kalau itu diukur dengan skala nasional,” tegasnya.

Jika hal ini terus berlanjut, Dr. Zainal khawatir akan banyak kebijakan yang lebih didasari oleh motif politik daripada kepentingan publik.

Ia menekankan perlunya parameter hukum yang jelas dan pembatasan kasus yang bisa diberikan amnesti atau abolisi, terutama untuk tindak pidana korupsi yang seharusnya tidak bisa diintervensi oleh unsur politik.

Senada dengan Dr. Zainal, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman, juga menyoroti penggunaan hak istimewa presiden ini.

Ia berpendapat bahwa amnesti dan abolisi seharusnya menjadi hak istimewa dengan derajat tertinggi dalam penegakan hukum, bukan sekadar alat politik.

Amnesti dan abolisi harus spesial. Kalau tidak, untuk apa ada proses hukum dan peradilan? Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah hukum,” kata Zaenur.

Zaenur menambahkan, kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukanlah kasus yang spesial atau unik.

Banyak kasus lain di mana terdakwa menjadi korban dari permainan politik dan kecacatan hukum.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk lebih transparan dan berani mengakui serta membenahi kesalahan prosedur hukum yang terjadi, bukan hanya dengan memberikan pengampunan.

“Jika memang terdapat suatu kesalahan prosedur hukum, maka sudah seharusnya hal tersebut diakui dan dibenahi,” pungkasnya. ***

Berita Lainnya

Terkini