MPBI DIY Desak Gubernur Tetapkan UMK 2026 Sesuai KHL, Klaim Upah Tiga Tahun Terakhir di Bawah Standar

Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY mendesak Gubernur menetapkan UMK tahun 2026 berdasar hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL)

15 Oktober 2025, 05:04 WIB

Yogyakarta -Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendesak Gubernur DIY agar menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2026 berdasarkan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di lima kabupaten/kota di DIY.

Desakan tersebut disampaikan MPBI DIY melalui aksi unjuk rasa di Tugu Yogyakarta dan Kantor Gubernur DIY pada Selasa, 14 Oktober 2025.

Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, mengungkapkan bahwa penetapan upah minimum di DIY selama tiga tahun terakhir selalu berada di bawah nilai KHL, padahal upah layak merupakan hak dasar setiap pekerja.

“Kami mendesak Gubernur DIY agar tidak lagi menetapkan upah minimum di bawah KHL. Minimal dari tiga tahun belakangan, survei kami menunjukkan bahwa angka KHL jauh lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku,” ujar Irsad.

MPBI DIY mencatat, hasil survei KHL tahun 2025 menunjukkan nilai KHL tertinggi berada di Kota Yogyakarta sebesar Rp 4.449.570, disusul Kabupaten Sleman Rp 4.282.812, Kabupaten Bantul Rp 3.880.734, Kabupaten Kulon Progo Rp 3.832.015, dan Kabupaten Gunungkidul Rp 3.662.951.

Menurut Irsad, angka-angka tersebut menunjukkan bahwa seluruh wilayah di DIY memerlukan penyesuaian upah agar pekerja dan keluarganya mampu memenuhi kebutuhan dasar.

“Upah layak bukan sekadar angka, tetapi jaminan hidup bermartabat bagi buruh di DIY,” tegasnya.

Selain menuntut penetapan UMK 2026 sesuai KHL, MPBI DIY juga menyampaikan tuntutan lain, termasuk penolakan terhadap kebijakan yang menekan upah di bawah KHL, peningkatan pengawasan ketenagakerjaan, dan memastikan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat dan berkeadilan.

Terkait perselisihan, MPBI DIY juga menuntut negara agar aktif dalam penyelesaian kasus hubungan industrial yang sedang bergulir di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Yogyakarta.

Mereka mendampingi empat kasus di beberapa perusahaan dan hotel.

“Negara tidak boleh hanya menjadi penengah, tapi harus hadir sebagai pelindung bagi mereka yang lemah dan rentan terhadap ketidakadilan ekonomi,” pungkas Irsad, menegaskan perjuangan buruh adalah tentang keadilan sosial.

Pemda DIY Janji Naikkan Tapi Banyak Pertimbangan

Menanggapi desakan tersebut, Asisten Sekretariat Daerah DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tri Saktiyana, mengatakan, pemerintah memahami logika tuntutan buruh karena upah memang berkaitan dengan kelayakan hidup. Namun, ia menegaskan penetapan UMK tidak hanya berdasarkan survei KHL dari serikat pekerja.

“Kami bisa memahami logikanya ketika teman – teman buruh menghitung KHL dengan angka tertentu. Tapi hasil survei itu adalah self-assessment dan akan menjadi salah satu pertimbangan, bukan satu-satunya,” ujar Tri.

Ia menjelaskan, pemerintah juga memiliki mekanisme tersendiri dalam menghitung kebutuhan hidup layak, termasuk dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan indikator ekonomi lainnya.

“Pemerintah pusat setiap tahun memberikan pedoman tentang cara menghitung upah minimum. Ada dinamika dan perubahan setiap tahunnya, jadi kita ikuti aturan itu,” katanya.

Terkait kemungkinan kenaikan hingga 50 persen sebagaimana dituntut MPBI DIY, Tri menyebut hal itu masih perlu menunggu formula resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan.

“Belum bisa dipastikan, tapi yang jelas setiap tahun pasti ada kenaikan. Hanya saja harus diseimbangkan antara kepentingan pengusaha dan buruh agar iklim usaha tetap kondusif,” jelas Tri.

Disnakertrans DIY Dorong Penghasilan di Luar Upah

Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Ariyanto Wibowo, menilai peningkatan kesejahteraan buruh juga dapat dilakukan melalui pengembangan keterampilan dan peluang usaha di luar pekerjaan utama.

“Selain pendekatan melalui upah, kami juga mendorong peningkatan penghasilan di luar upah, misalnya dengan pelatihan keterampilan atau wirausaha,” jelasnya.

“Kalau duduk bareng dan berdiskusi, pasti bisa ditemukan solusinya. Misalnya pelatihan jualan online atau pekerjaan sampingan yang sesuai kemampuan,” tandas Ariyanto.***

Berita Lainnya

Terkini