Ada Apa di Balik Pemecatan Sepihak Pengurus Serikat Yamaha Music

8 Juli 2025, 07:26 WIB

Jakarta – Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Ketua dan Sekretaris Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja (PUK SP FSPMI) di PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia (YMMI) telah memicu gelombang kecaman. Bukan tanpa alasan.

Tindakan ini dinilai tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, tetapi juga sarat dugaan praktik union busting dan pelemahan demokrasi industrial di Indonesia.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan No. 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama. Kedua konvensi itu menjamin perlindungan terhadap pengurus dan anggota serikat dari tindakan diskriminatif perusahaan. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan gejala sebaliknya.

Melanggar Prosedur Hukum

Pemecatan terhadap dua pengurus serikat tersebut dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003. Bahkan, menurut informasi yang beredar, keduanya sedang menjalankan fungsinya sebagai pengurus serikat dan memperjuangkan hak-hak normatif pekerja saat pemecatan terjadi.

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diatur bahwa PHK harus didahului oleh proses bipartit dan/atau mediasi tripartit jika terjadi perselisihan. Tidak dapat serta-merta dilakukan, apalagi terhadap pengurus serikat aktif. Pelanggaran terhadap prinsip ini berpotensi memicu kriminalisasi hubungan industrial.

Abaikan Arahan Pemerintah, Timbulkan Tanda Tanya

Lebih mengherankan lagi, PT YMMI tetap bersikukuh mempertahankan pemecatan meskipun telah mendapat arahan dari Bupati Bekasi, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, hingga Kementerian Ketenagakerjaan agar menyelesaikan perselisihan secara dialogis.

Ketidakpatuhan terhadap imbauan lembaga resmi ini tentu memunculkan tanda tanya besar: Ada kekuatan apa di balik keras kepala perusahaan?.

Ketika perusahaan asing mulai mengabaikan kedaulatan hukum dan lembaga negara, publik berhak untuk curiga bahwa ada konspirasi sistemik yang tengah berlangsung. Apalagi ketika tindakan itu berdampak langsung terhadap eksistensi serikat pekerja yang sah secara hukum.

Kerugian Rp50 Miliar: Alasan atau Justifikasi?

Pihak perusahaan dikabarkan menyebut potensi kerugian sebesar Rp50 miliar akibat aksi mogok dan tekanan serikat pekerja. Klaim ini menjadi dasar pemecatan dua pengurus utama. Namun, tanpa audit independen atau pembuktian konkret, angka tersebut rawan digunakan sebagai justifikasi sepihak untuk menekan organisasi pekerja.

Secara hukum, kerugian materiel harus dibuktikan secara objektif, proporsional, dan kausal. Jika tidak, klaim semacam ini justru terkesan sebagai upaya untuk mengalihkan isu dari substansi perjuangan buruh ke ranah yang menyudutkan mereka secara sepihak.

Ancaman Bagi Demokrasi Industrial

Dari kacamata teori hubungan industrial, tindakan seperti ini mengancam demokrasi tempat kerja. Buruh tidak hanya kehilangan perlindungan hukum, tapi juga kehilangan ruang representasi kolektif. Jika pengurus serikat bisa diberhentikan tanpa alasan sah, maka pesan yang disampaikan ke pekerja lain jelas: berdiam diri lebih aman daripada bersuara.

Apalagi, dalam konteks ini, PHK justru dilakukan kepada dua tokoh utama yang dikenal vokal memperjuangkan hak-hak pekerja di PT YMMI. Ini bisa diartikan sebagai chilling effect, yakni strategi intimidatif untuk membungkam gerakan buruh dari dalam.

Negara Tidak Boleh Absen

Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, perlu mengambil langkah tegas. Jika perusahaan dibiarkan mengabaikan instrumen hukum dan arahan pemerintah tanpa sanksi, maka kepercayaan publik terhadap supremasi hukum bisa runtuh. Ini bukan hanya soal dua orang pekerja. Ini soal wajah hukum ketenagakerjaan Indonesia di mata dunia.

Investasi asing memang penting, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk mengorbankan hak konstitusional buruh. Presiden Joko Widodo pernah menekankan bahwa investasi yang sehat adalah investasi yang adil dan berkelanjutan. Artinya, keberadaan investor harus disandingkan dengan penegakan hukum dan perlindungan hak pekerja.

Bongkar Konspirasi, Pulihkan Keadilan

Pemecatan sepihak dua pengurus serikat di PT YMMI menjadi refleksi penting tentang relasi kekuasaan antara modal dan pekerja di Indonesia. Dugaan konspirasi, pembangkangan terhadap otoritas negara, serta penyalahgunaan klaim kerugian harus dibongkar secara transparan. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa hukum berdiri tegak—bukan tunduk pada kekuatan uang.

Pemerintah harus hadir bukan sekadar sebagai penengah, tapi sebagai penjaga keadilan sosial. Dan masyarakat sipil, termasuk media, perlu terus mengawasi agar buruh Indonesia tidak dibiarkan berjuang sendirian.***

Berita Lainnya

Terkini