KabarNusa.com –
Lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 44 Tahun 2014
yang berlaku mulai 1 November 2014 bakal menjadi batu sandungan
pemerintahan baru presiden terpilih Jokowi.
Bahkan, dibalik lahirnya aturan baru itu, dituding ada mafia yang turut bermain dalam melindungi kepentingan mereka.
“Ini
kerja mafia, tiba-tiba Kementerian Perdagangan (Kemendag) bikin aturan,
padahal kementerian teknis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), tidak dilibatkan” tukas Direktur Forum Masyarakat Anti-Korupsi
Nusantara (Formantara), Syafti Hidayat dalam keterangan tertulisnya di
Jakarta (17/9/2014).
Bahkan, dia menegaskan, Permen itu jelas bermasalah dan berniat buruk.
Karenanya,
jika Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berniat baik, seharusnya
langsung berlaku sejak ditetapkan pada bulan Juli lalu.
“Anehnya, kenapa baru berlaku di masa pemerintahan baru?” tanya Syafti.
Dijelaskan,
dalam Permen ini membuat penambang/eksportir besar yang menjual timah
batangan, menanggung beban yang lebih kecil, tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) 10%, hanya membayar royalti 3%.
Penambang/eksportir kecil dikenai syarat tambahan, yaitu berupa Ijin Eksportir Terdaftar Timah Industri (IETTI), dan PPN 10%.
Diketahui
dalam Permendag 44, untuk memperoleh IETTI, tidak ada syarat clear and
clean (CC), yaitu kejelasan asal-usul bahan baku.
“Jelas sangat
mengherankan, sebab untuk pengolahan/industri hasil tambang seperti
zirconium (kode kimia Zr), mensyaratkan dukungan bahan baku dari
perusahaan yang memperoleh sertifikat CC.
Dengan tidak
mensyaratkan CC, artinya pemerintah tidak mau tahu dari mana asal timah,
entah dari penambangan liar atau hasil curian, pokoknya bayar PPN 10%.
Ini
bisa ditafsirkan, hasil penambangan liar ‘dicuci’ dengan PPN 10%. Ini
gila. Apakah ini termasuk money laundering? Biar pakar yang bicara,”
sambungnya.
Syafti meminta Menteri Perdagangan segera
membatalkan Permen ini. Jika memang diperlukan, cukuplah memberi catatan
kepada pemerintahan baru, tetapi jangan melempar “telor busuk” ke
Jokowi.
“Permen ini juga masuk ke ‘wilayah’ Kementerian Perindustrian, maka sebaiknya segera dibatalkan,” tutupnya. (nar).