Agung Aswamedha: Technopreneur Visioner Siap Pimpin Transformasi IA-ITB

Agung Aswamedha, alumni Fisika ITB angkatan 2002, figur sentral yang siap memimpin IA-ITB menuju era baru sebagai kekuatan strategis bangsa.

23 Juni 2025, 18:03 WIB

Nusa Dua – Bertempat di The Nusa Dua, saat Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) menggelar Hearing Nusantara IA-ITB kawasan Bali pada Minggu (22/6) nama Agung Aswamedha, alumni Fisika ITB angkatan 2002, muncul sebagai figur sentral yang siap memimpin IA-ITB menuju era baru sebagai kekuatan strategis bangsa.

Agung menyatakan kesiapannya untuk maju sebagai Calon Ketua Umum IA-ITB periode 2025–2029, membawa visi transformasi yang tak hanya simbolis, namun berdampak nyata.

Dikenal akrab dengan sapaan Atep, Agung saat ini menjabat sebagai Direktur R&D di Sangkuriang Internasional, sebuah perusahaan terdepan di sektor teknologi strategis dan industri pertahanan.

Dengan latar belakang sebagai seorang technopreneur, Atep bukan sekadar calon pemimpin, melainkan representasi semangat pembaharuan yang konkret dan sistemik bagi peran alumni di tengah tantangan bangsa yang kian kompleks.

“Saya bukan siapa-siapa, tapi saya alumni ITB. Dan itu adalah privilege terbesar saya,” tegas Atep, suaranya lantang namun merendah, menggambarkan tekadnya yang membara.

Kedaulatan Teknologi: “Kita Harus Berani Bilang!”

Dalam paparannya, Atep tak ragu menyoroti isu krusial: pentingnya peran alumni ITB dalam memperkuat kemandirian teknologi nasional melalui pengarusutamaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Baginya, ini bukan sekadar retorika, melainkan panggilan nyata untuk kedaulatan.

“Kita harus berani bilang: sebagian pekerjaan bisa dilakukan di dalam negeri. Ini bukan soal ego, tapi tentang kedaulatan,” ujarnya.

Atep yakin, alumni ITB memiliki kapasitas luar biasa untuk mendorong kebijakan teknologi yang pro-dalam negeri, terutama melalui kolaborasi erat antara industri, perguruan tinggi, dan pemerintah.

Kedekatannya dengan Jenderal Kunto Arief Wibowo, tokoh militer yang dikenal vokal dalam isu ketahanan nasional, menjadi bukti konkret komitmen Atep.

“Saya pribadi sudah bersepakat dengan Jenderal Kunto, bahwa alumni ITB harus hadir untuk mendukung agenda besar ketahanan nasional. Banyak yang tidak tahu, beliau sangat terbuka terhadap kontribusi sipil dalam membangun resilience bangsa,” ungkap Atep, menegaskan bahwa IA-ITB bisa menjadi mitra strategis pemerintah dalam menghadapi ketidakpastian global.

Inovasi Pendanaan: Era Baru Ekosistem Alumni

Salah satu terobosan signifikan yang dibawa Atep adalah kritiknya terhadap skema pendanaan tradisional berbasis donasi.

Menurutnya, pendekatan tersebut tak lagi relevan di tengah situasi fiskal dan geopolitik yang menantang. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan model pendanaan inovatif berbasis sirkel ekosistem alumni.

Model ini mengintegrasikan secara transparan dan akuntabel antara pemilik proyek, pelaksana teknis, dan pemberi pendanaan.

Konsep ini telah terbukti sukses melalui berbagai inisiatif bisnis dan sosial yang ia bangun, mulai dari alat kesehatan, properti, hingga akuisisi aset kampus seperti gedung di Sulanjana dan kawasan Tendean.

“Kalau kita transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi, trust itu tumbuh. Ketika trust tumbuh, loyalitas menyusul. Ini game changer,” terang Atep dengan keyakinan.

Ia juga menegaskan bahwa formulasi ini dirancang agar scalable dan inklusif, melibatkan alumni di sektor keuangan, perbankan, hingga institusi pendanaan luar negeri.

Salah satu bukti konkret dari visi ini adalah rencana pembangunan Tower Bersama, sebagai proof of concept skema pendanaan baru IA-ITB yang dapat mereplikasi model sukses seperti Harvard Alumni Fund.

“Inti  bukan hanya soal bisnis, tapi bagaimana alumni bisa menyumbangkan kekuatan finansialnya secara sistemik dan berkelanjutan untuk kampus tercinta ITB,” katanya, menggambarkan impiannya untuk kemandirian finansial IA-ITB.

Program Prioritas: Kolaborasi dan Dampak Jangka Panjang
Dalam paparannya, Atep juga merinci sejumlah program prioritas yang berakar pada ekosistem kolaboratif dan pendekatan jangka panjang, antara lain:

Bisnis alumni berbasis sektor unggulan, dengan pendampingan pasar, koneksi ke regulator, dan akses pembiayaan.

Peningkatan kapasitas soft-skill dan mental health untuk alumni muda dan civitas akademika ITB.

Beasiswa berkelanjutan bagi mahasiswa dari keluarga prasejahtera, termasuk melalui yayasan alumni 2002.

Skema gotong royong alumni untuk mendukung pembangunan kampus dan kegiatan alumni di daerah.

Platform komunikasi strategis IA-ITB dengan pemerintah, untuk memperkuat peran alumni dalam memengaruhi kebijakan nasional secara objektif dan konstruktif.

Menjawab pertanyaan audiens, Atep menyebut dua sosok inspiratif: Laksamana Sukardi, pelopor program inkubator bisnis alumni, dan Hatta Rajasa, yang memperkuat sisi emosional dan soft skill melalui program seperti SIAWARE.

“Masalah anak ITB itu bukan IQ, tapi EQ. Nah program seperti SIAWARE itu menjawab kebutuhan yang selama ini terabaikan,” jelasnya, menunjukkan pemahamannya akan kebutuhan holistik alumni.

Mengorkestrasi Potensi, Menyatukan Perbedaan

Atep menyadari dinamika dalam tubuh IA-ITB tak bisa dihindari. Namun baginya, tugas kepemimpinan adalah mengorkestrasi seluruh potensi, bukan sekadar mengelola perbedaan.

“Ini bukan tentang siapa yang paling vokal. Tapi siapa yang bisa mengayomi dan menyatukan,” ujarnya.

Dengan latar belakang Bali-Sunda yang ia miliki, Atep menempatkan pendekatan humanis sebagai kunci dalam merangkul seluruh elemen alumni.

“Darah saya dua: Bali dari Klungkung, dan Sunda dari Jawa Barat. Kombinasi ini saya bawa untuk menjalin komunikasi lintas latar, karena kita sedang tidak baik-baik saja sebagai bangsa,” ujarnya.

Dengan struktur bisnis yang sudah mandiri dan jejaring solid di belakangnya, Atep menyatakan kesiapannya untuk mewakafkan waktu dan energi secara total demi kepentingan IA-ITB.

“Ini bukan soal posisi. Ini panggilan jiwa. Alumni ITB sudah waktunya bergerak bersama. Jangan hanya hadir, tapi hadir untuk berdampak,” tutup Atep. ***

Berita Lainnya

Terkini