Airlangga Hartarto Mundur, Pengamat UIN Jogja: Teringat saat Yusuf Kalla Merebut Golkar di Munas Bali

Akademisi UIN Yogyakarta Ahmad Norma Permata menilai, mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar, pernah terjadi saat Yusuf Kalla merebut Golkar ketika Musyawarah Nasional (Munas) di Bali tahun 2024 silam.

13 Agustus 2024, 17:45 WIB

Yogyakarta – Mundurnya mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar pernah terjadi saat HM Jusuf Kalla merebut kursi Ketua partai beringin pada Musyawarah Nasional Munas di Bali.

Pengamat politik UIN Yogyakarta Ahmad Norma Permata ikut bicara atas mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi ketua umum Partai Golkar.

Akademisi UIN Yogyakarta ini menilai, mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar, pernah terjadi saat Yusuf Kalla merebut Golkar ketika Musyawarah Nasional (Munas) di Bali tahun 2024 silam.

Kata Ahmad Norma Permata waktu itu, Yusuf Kalla memberikan tawaran yang lebih baik dibanding Akbar Tanjung karena posisinya sebagai wakil presiden.

Kemudian juga eranya Setya Novanto, yang dapat merebut posisi Golkar sebagai ketua umum tahun 2014.

Setyo Novanto mangalahkan Prabowo Subianto dan Surya Paloh karena kemampuannya memanage akses sumber daya untuk kepentingan parpol, meski pada akhirnya terpeleset dalam kasus Papa minta pulsa.

Dalam kaitan mundurnya Airlangga Hartarto, dia melihat adanya tawaran dari pihak luar yang membawa tawaran lebih baik untuk Golkar.

“Baik dalam posisi politik di kabinet maupun akses sumber daya yang lain,” ungkap Ahmad Norma Permata kepada wartawan Selasa 13 Agustus 2024.

Dalam amatannya, Partai Golkar merupakan partai yang memiliki sifat paradoks, yang artinya disatu sisi adalah partai yang cukup disiplin di dalam berorganisasi alias semua keputusan partai dijalankan melalui prosedur rapat yang disepakati.

Di sisi lain Golkar adalah partai yang sangat pragmatis, sebagaimana banyak dimaklumi Golkar tidak pernah dan tidak akan mau berada di luar pemerintahan.

“Oleh karena itu yang telah dan akan selalu terjadi di Golkar adalah perpaduan antara pragmatisme dan prosedural kepartaian,” kata Ahmad Norma Permata menegaskan.

Kemudian, secara umum Partai Golkar sendiri masih berada di di tangan angkatan tua tokoh-tokoh penasehat partai seperti Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, Agung Laksono, dan lain-lain.

“Mereka inilah yang memiliki pengaruh di jaringan Partai Nasional,” kata Ahmad Norma Permata.

Meski begitu, menurut Norma untuk secara operasional, Partai Golkar berada di bawah tokoh-tokoh yang lebih muda, sehingga yang terjadi yaitu dalam kaitanya dengan pragmatisme di atas.

Siapapun akan bisa menguasai Golkar dengan dua syarat, yang pertama, membawa alternatif yang lebih baik secara politik dan finansial.

Dengan kata lain membawa Golkar pada posisi yang lebih baik secara politik maupun finansial, yang kedua mendapatkan restu dari para senior.

“Jadi apa yang terjadi di Golkar saat ini dengan mundurnya Airlangga Hartarto, menurut saya karena ada tawaran pihak luar yang clear dan clean secara hukum,” tukasnya.

Artinya, bukan uang kotor atau posisi yang meragukan. Dan tawaran ini kemudian mendapatkan restu para senior di Golkar sendiri, sehingga akhirnya Airlangga harus mundur.

Dari penjelasan tersebut, menurut dia merupakan mekanisme yang normal bagi Golkar meski jarang terjadi.

Jadi, siapapun yang bisa menawarkan sesuatu yang lebih baik, yang secara hukum clear dan clean, maka ia akan punya potensi untuk menjadi penguasa di kulkas.

“Karena semua orang di Golkar sepakat bahwa mereka butuh kekuasaan,” demikian Ahmad Norma Permata. ***

Berita Lainnya

Terkini