AJI, IJTI, PFI Kompak Menolak: Ada Apa dengan Rumah Subsidi Jurnalis?

Kata Ketua Umum Pewarta Foto Indonesia (PFI), Reno Esnir, subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi tapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya.

16 April 2025, 08:11 WIB

Jakarta – Gelombang penolakan deras menghantam rencana pemerintah untuk menyalurkan 1.000 rumah subsidi bagi jurnalis. Program yang digagas melalui kolaborasi Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ini sedianya akan dimulai pada 6 Mei 2025, menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang sebenarnya terbuka untuk seluruh warga negara memenuhi syarat.

Meskipun Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid bersikeras bahwa inisiatif ini adalah wujud perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan jurnalis dan bukan bermotif politik atau upaya membungkam kritik, fakta bahwa jurnalis mendapatkan jalur khusus untuk mengakses kredit rumah ini menuai sorotan tajam.

Keistimewaan ini dianggap tidak relevan dengan tugas pokok pers dan justru berpotensi menciptakan citra buruk bagi profesi jurnalis, seolah layak mendapatkan perlakuan istimewa di atas warga negara lainnya yang juga berjuang mendapatkan rumah subsidi melalui jalur reguler.

Ketua Umum Pewarta Foto Indonesia (PFI), Reno Esnir, dengan tegas menyatakan, “Subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi tapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya.

Senada dengan itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyampaikan kekhawatiran yang lebih mendalam.

“Jika jurnalis mendapatkan rumah dari Komdigi, tidak bisa dielakkan kesan publik bahwa jurnalis sudah tidak kritis lagi. Maka sebaiknya program ini dihentikan saja, biarlah teman-teman mendapatkan kredit lewat jalur normal seperti lewat Tapera atau bank,” ungkapnya dalam keterangan tertulis 15 April 2025.

Sorotan tajam juga datang dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Ketua Umumnya, Herik Kurniawan, menyampaikan apresiasi atas perhatian pemerintah kepada jurnalis, namun menekankan perlunya fokus pada kebijakan yang membangun ekosistem media yang sehat.

“Pemerintah mesti fokus bagaimana persyaratan kredit rumah terjangkau semua lapisan masyarakat,” ujarnya.

Kurniawan bahkan menyarankan agar Dewan Pers tidak perlu terlibat dalam program ini, mengingat mandat lembaga tersebut yang lebih berfokus pada isu-isu jurnalistik. “Tidak perlu ada campur tangan Dewan Pers. Karena bukan mandat Dewan Pers untuk mengurusi perumahan,” tegasnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) secara bulat menolak rencana program ini. Mereka berpandangan bahwa meskipun jurnalis sebagai warga negara juga membutuhkan rumah, kebutuhan ini sama mendasarnya dengan kebutuhan warga negara dari profesi lain.

Oleh karena itu, persyaratan kredit rumah seharusnya berlaku universal tanpa diskriminasi berdasarkan profesi.

Lebih lanjut, para pemimpin organisasi jurnalis ini menyerukan agar pemerintah lebih fokus pada penyediaan rumah yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat dan memastikan target 3 juta rumah benar-benar tercapai.

Jika pemerintah memiliki itikad baik untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis, langkah yang lebih konstruktif adalah memastikan perusahaan media menjalankan Undang-Undang Tenaga Kerja, termasuk menetapkan upah minimum yang layak, memperbaiki ekosistem media, dan menghormati kerja-kerja jurnalistik.

“Jika upah jurnalis sudah layak, maka kredit rumah dengan mudah dapat dipenuhi,” ujar Nany Afrida. Reno Esnir menambahkan, “Jurnalis termasuk fotografer, membutuhkan jaminan kebebasan dan keamanan ketika melakukan liputan.”

Oleh karena itu, fokus pemerintah seharusnya lebih tertuju pada jaminan keamanan saat jurnalis menjalankan tugas peliputan mereka. Dengan penolakan yang begitu kuat dari organisasi-organisasi pers, masa depan program rumah subsidi khusus jurnalis ini menjadi semakin tidak pasti. ***

Berita Lainnya

Terkini