Ilustrasi (kabarnusa) |
Kabarnusa.com, Jakarta – Rokok tidak selamannya berdampak buruk bagi kesehatan manusia sebab ada beberapa orang justru menggunakan terapi untuk kesembuhan penyakit.
Dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU dengan tema Kampanye Kondom, Antirokok: Indah, tapi Manipulatif?, Senin (15/12/2013), muncul kuat penolakan ratifikasi FCTC.
Berbagai alasan dikemukakan, mulai aspek kesehatan, ekonomi, agama, hingga hukum dijadikan dasar atas penolakan tersebut.
Dalam pandangan guru besar FMIPA Universitas Brawijaya, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Brawijaya Prof. Dr. Sutiman Bambang Sumitro, rokok memiliki dampak negatif tentu tidak bisa dipungkiri.
Hanya saja, kata dia, hal itu tidak bisa dijadikan untuk pendekatan yang bersifat individual.
“Sama halnya dengan daging kambing, tidak boleh untuk orang yang memiliki riwayat berpenyakit hipertensi, yang tidak, ya tidak apa-apa,” tegas Sutiman.
Dia menambahkan, rokok dan produk turunan tembakau lainnya tidak selamanya mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan.
Ada beberapa orang yang bermasalah dengan kesehatannya, namun bisa disembuhkan justru dengan terapi asap rokok, terapi tembakau, dan lain sebagainya.
“Itu saya sendiri sudah membuktikan, di mana banyak pasien saya yang datang dari luar negeri,” ungkapnya.
Tak heran pula jika Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Pemerintah untuk tidak meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) dengan berbagai dalih mulai alasan ekonomi hingga dalil agama.
Anggota Dewan Tahqiq Badan Halal PBNU KH Arwani Faisal menyatakan, Keputusan Muktamar dan Munas NU telah menegaskan, jika rokok bukanlah produk yang haram untuk dikonsumsi.
“Islam menegaskan, sebuah produk jika masih memiliki manfaat tidak boleh diharamkan. Demikian juga dengan rokok,” tandas Arwani.
Senada dengan itu, penolakan atas rencana ratifikasi FCTC disampaikan Andi Najmi yang bertindak sebagai moderator dalam diskusi tersebut.
Andi yang merupakan praktisi hukum berbicara berdasarkan keilmuan yang dikuasainya.
Pemerintah perlu menimbang lagi, jika negara meratifikasi FCTC, potensi pendapatan dari cukai akan mengalami kemerosotan hingga Rp50 triliun.
“Jika itu terjadi, maka potensi hutang negara akan meningkat. Pertanyaannya, apakah anak cucu kita akan terus dibebani hutang negaranya?” papar Andi.
Sementara, dari kacamata ekonomi, Bendahara Umum PBNU H. Bina Suhendra mengungkapkan, ratifikasi FCTC harus dicermati dari kemungkinan bermuatan kepentingan politik dagang yang curang.
Dia menuding, politik dagang ini bukan lagi dugaan, tapi sekarang sudah terjadi.
Di pedagang kelontong pinggir jalan sekarang sudah gampang didapatkan rokok impor.
“itu artinya, Ratifikasi FCTC berpotensi mematikan industri rokok dalam negeri, dan jika itu terjadi, produk rokok asing akan semakin membanjiri pasar kita,” tukasnya. (des)