Jakarta – Terjadinya sengketa dalam Pilkada serentak 2024 menjadi sebuah keniscayaan, maka panitia pengawas Adhoc harus memiliki kapasitas dalam prinsip penyelesaian sengketa tersebut.
“Prinsip dasar penyelesaian keberatan dan sengketa Pemilu bertujuan untuk menjamin dan memastikan bahwa hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan demokrasi tersampaikan dan didengar”, ucap Akademisi Universitas Islam 45 (Unisma), Dr Rasminto dalam Rakor hukum penyelesaian sengketa Bawaslu kota administrasi Jakarta Selatan, (29/7) di hotel Ibis Style Simatupang, Jakarta Selatan.
Baginya, Pemilihan umum atau Pemilu di Indonesia merupakan salah satu perwujudan demokrasi yang tak jarang menghadirkan konflik dan sengketa.
“Sebaik-baiknya sistem penyelenggaraan Pemilu yang dirancang oleh KPU di dalamnya, selalu ada kemungkinan terjadi pelanggaran yang memicu konflik dan sengketa”, jelasnya.
Menurutnya, sengketa dapat terjadi antar peserta Pemilu dan peserta dengan penyelenggara Pemilu.
“Sebab, karena adanya hak peserta Pemilu yang merasa dirugikan. Objek yang disengketakan dapat berupa surat keputusan KPU maupun berita acara yang dibuat KPU”, tandasnya.
Ia melanjutkan, sengketa Pemilu di Indonesia dapat terjadi sejak perencanaan, persiapan, tahapan hingga perhitungan suara hasil Pemilu.
“Pelanggaran dapat berupa pelanggaran administrasi hingga pelanggaran pidana”, katanya.
Ia berharap, pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 sesuai jadwal dan mekanisme prosedur yang ada dalam perundang-undangan kepemiluan.
“Jelas ya penyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi dan ajudikasi dengan jangka waktu penyelesaian sengketa selama 12 hari, permohonan pengajuan sengketa paling lambat 3 hari sejak dikeluarkannya berita acara maupun Surat Keputusan oleh KPU, semoga Pilkada serentak berjalan aman dan damai khususnya di DKJ”, tutupnya.***