Amnesti dan Abolisi Rekonsiliasi Nasional atau Melawan Pelaku Dinasti

13 Agustus 2025, 09:09 WIB

JakartaAmnesti dan abolisi adalah instrumen hukum yang lahir dari semangat rekonsiliasi dan perlindungan kepentingan umum. Namun, dalam realitas politik Indonesia, keduanya kerap keluar dari jalur idealnya, menjadi komoditas retorika dan bahan bakar pertempuran antar-elite. Kasus yang melibatkan Prabowo menegaskan bagaimana mekanisme hukum ini tidak pernah steril dari aroma politik.

Di tengah sorotan publik, keputusan untuk memberikan atau menolak amnesti dan abolisi tak lagi dipahami sebagai pertimbangan yuridis murni, melainkan sebagai isyarat dukungan atau penolakan politik. Narasi yang dibangun di ruang media dan forum publik memperlihatkan betapa cepatnya instrumen hukum ini berubah fungsi: dari jembatan menuju persatuan menjadi simbol pertarungan kekuasaan.

Penulis menganalisis beberapa hal yang perlu dikritisi mengenai kebijakan presiden soal amnesti dan abolisi khusus objeknya adalah Hasto dan Tom Lembong yaitu :

1. Penyalahgunaan Instrumen Hukum untuk Kepentingan Politik, Amnesti dan abolisi pada dasarnya adalah instrumen hukum yang bertujuan menjaga kepentingan umum, memulihkan stabilitas, dan meredakan ketegangan politik. Namun, ketika pemberiannya dibingkai sebagai strategi untuk memperkuat posisi politik seseorang, fungsi yuridisnya tereduksi menjadi transaksi kekuasaan. Ini mengaburkan batas antara kedaulatan hukum dan manuver politik.

2. Erosi Kepercayaan Publik terhadap Supremasi Hukum, Jika publik memandang amnesti atau abolisi hanya sebagai hadiah politik bagi figur tertentu, legitimasi hukum akan tergerus. Dalam jangka panjang, ini menimbulkan preseden buruk: hukum menjadi fleksibel untuk kepentingan elite, sementara keadilan substantif bagi rakyat justru diabaikan.

3. Polarisasi Politik yang Semakin Tajam, Pemanfaatan isu amnesti dan abolisi sebagai senjata politik dapat memperdalam jurang perpecahan. Kubu yang menolak akan menganggapnya sebagai bentuk impunitas, sementara kubu pendukung akan memposisikannya sebagai “kemenangan moral”. Polarisasi ini berpotensi menghambat agenda-agenda strategis negara.

4. Dampak terhadap Stabilitas Demokrasi, Demokrasi sehat membutuhkan mekanisme hukum yang bebas dari intervensi politik praktis. Ketika keputusan strategis seperti amnesti atau abolisi dikaitkan dengan konsolidasi kekuasaan, demokrasi kehilangan pilar independensinya. Dalam konteks ini, bukan hanya hukum yang dirugikan, tetapi juga keberlangsungan sistem politik yang seimbang.

5. Kebutuhan Transparansi dan Akuntabilitas, Jalan keluar dari politisasi adalah memastikan setiap pemberian amnesti atau abolisi dilakukan melalui prosedur yang transparan, dengan penjelasan resmi dan argumentasi hukum yang jelas. Tanpa itu, keputusan akan selalu dicurigai sebagai langkah yang dimotori kepentingan sempit, bukan kepentingan bangsa.

Menafsirkan Ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” yang sering dikaitkan dengan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, menyoroti pentingnya hubungan timbal balik antara hukum dan kekuasaan dalam suatu negara. “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan”, Ini berarti bahwa hukum, sebagai seperangkat aturan, tidak akan efektif jika tidak ada kekuatan yang dapat menegakkannya. Tanpa kekuasaan, hukum hanya akan menjadi tumpukan kertas tanpa makna, dan tidak akan mampu menciptakan ketertiban atau melindungi hak-hak warga negara. “Kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” Maksudnya adalah kekuasaan, tanpa adanya batasan hukum, cenderung akan disalahgunakan dan mengarah pada tindakan sewenang-wenang atau penindasan. Hukum berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan, memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kepentingan umum dan tidak merugikan masyarakat.

Ungkapan ini menegaskan bahwa hukum membutuhkan kekuasaan untuk ditegakkan, sementara kekuasaan harus dibatasi oleh hukum agar tidak menjadi sewenang-wenang. Namun realita yang terjadi saat ini malah mengarah bahwasannya hukum adalah alat politik itu sendiri demi rekonsiliasi nasional yang mana obyek dari amnesti dan abolisi adalah lawan politik sebelumnya pada PEMILU 2024. Apabila asumsi ini mengarah kepada hal tersebut maka tidak sesuai dengan adagium Politiae legius non leges politii adoptandae, “politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya”.

Kritik ini lahir bukan untuk menolak rekonsiliasi, melainkan untuk menegaskan bahwa supremasi hukum tidak boleh tunduk pada kalkulasi politik jangka pendek. Negara memerlukan mekanisme hukum yang kredibel, transparan, dan bebas dari intervensi kepentingan partisan. Tanpa itu, setiap amnesti dan abolisi akan terus dibaca sebagai dagang sapi politik bukan sebagai langkah konstitusional demi keadilan dan perdamaian nasional. Dari apa yang dijabarkan menimbulkan tanda Tanya besar Apakah sedang ada Rekonsiliasi Nasional atau polarisasi politik untuk melawan pelaku dinasti? Seperti apa yang diisukan ada perang dingin elite politik pada rezim pemerintahan atau pertarungan gerbong sehingga berdampak pada stabilitas pemerintahan, penulis berharap ini hanyalah sekedar asumsi bukanlah fakta yang terjadi.***

Penulis : Moh Sahrul Lakoro, Ketua DPC PERMAHI Gorontalo

Berita Lainnya

Terkini