Yogyakarta – Program ambisius pemerintah untuk mengubah wajah transportasi tradisional Indonesia memasuki babak baru.
Sejak 2024, inisiatif Presiden Prabowo Subianto untuk mengganti becak kayuh dengan becak listrik yang ramah lingkungan dan dilengkapi teknologi canggih telah menyalurkan lebih dari 2.000 unit, terutama bagi pengemudi lanjut usia. Tujuannya ganda: meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus menekan polusi udara di perkotaan.
Inisiatif ini disambut hangat oleh akademisi. Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Ir. Dewanti, M.S., memandang becak listrik sebagai solusi vital dalam mewujudkan konsep transportasi hijau dan berkelanjutan di tengah isu kemacetan dan emisi karbon yang makin akut.
“Becak listrik dapat berkontribusi menekan polusi udara yang kian memburuk. Saya kira, program ini harus disiapkan dengan baik infrastruktur dan regulasi yang diperlukan,” ujar Dewanti, Rabu (3/12).
Kini, becak listrik tidak hanya bertenaga baterai, tetapi juga disematkan teknologi Internet of Things (IoT), menjadikannya ‘kendaraan pintar’ yang modern.
Dewanti merinci, kendaraan ini dilengkapi fitur canggih seperti vehicle tracking, sistem pemantauan baterai, pembayaran digital, hingga sensor keselamatan.
“Teknologi ini dapat memudahkan dan menarik perhatian wisatawan untuk lebih memilih becak sebagai kendaraan khas nusantara,” jelasnya.
Namun, di balik optimisme teknologi ini, Dewanti memberikan peringatan keras mengenai tantangan krusial yang harus segera diatasi.
Menurutnya, masalah terbesar bukan hanya soal skema peralihan dari becak konvensional yang jauh lebih murah ke becak listrik yang bernilai puluhan juta rupiah.
Tetapi, fokus utamanya harus tertuju pada dampak lingkungan jangka panjang: pengelolaan limbah baterai dari ribuan unit becak listrik ini.
“Kita harus memastikan dampak lingkungan dapat diminimalkan. Jika tidak disiapkan dengan matang, solusi lingkungan ini bisa menjadi bencana baru di masa depan,” tegas Dewanti.
Selain limbah baterai, keberhasilan program ini juga terganjal masalah fundamental lain:
Infrastruktur: Ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang memadai.
Regulasi Lalu Lintas: Kebutuhan regulasi lalu lintas baru, termasuk pengaturan jumlah becak listrik di jalan agar tidak memicu kemacetan parah yang baru.
SDM dan Biaya: Pengemudi lama harus dibekali pengetahuan tentang teknologi, operasi, dan pemeliharaan. Meskipun becak listrik dianggap lebih manusiawi ketimbang becak kayuh yang mengandalkan tenaga manusia, aspek biaya operasional dan edukasi tetap menjadi PR besar.
“Pengemudi becak kayuh perlu bimbingan pengoperasiannya serta pembatasan jumlah dalam menghindari kemacetan yang lebih parah,” pungkas Dewanti.
Dia menekankan program yang menjanjikan kesejahteraan dan lingkungan ini harus dibarengi pembinaan menyeluruh agar tidak sekadar menjadi wacana, melainkan keberhasilan nyata di lapangan. ***

