Antropolog UGM: Karakter Rakyat Bali Berubah di Era New Normal

30 Mei 2020, 12:42 WIB
webinar%2Bunud2
Diskusi dalam Webinar 2 Pusat Penelitian (Puslit) Kebudayaan Unud/ist

Denpasar – Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Pande Made Kutanegara melontarkan pandangan rakyat Bali kini menghadapi kegamangan dengan situasi di masa depan.

Menurut Kutanegara, rakyat Bali kini harus menghadapi kegamangan situasi di masa depan, karena karakter orang Bali yang biasa gotong-royong dan hidup kebersamaan sebagai komunitas terpaksa berubah di era new normal.

“Jadi, lebih individualistis sehingga terjadi perubahan esensial dalam kebudayaan Bali,” ungkap Kutanegara dalam diskusi hangat Webinar 2 Pusat Penelitian (Puslit) Kebudayaan Unud, Jumat (29/5/2020).

Pandangan berbeda disampaikan Kolumnis Dr. Jean Couteau bahwa selama ini orang Bali akrab dengan alam dan lingkungan sehingga membuat mereka sangat rentan tertular penyebaran virus corona Covid-19.

“Keakraban dengan tubuh sendiri dan tubuh orang lain, saling rangkul, tidur bersama, atau keakraban kehidupan kolektif dalam upacara agama, tontonan dan sangkep. Semua itu tidak bisa lagi dilakukan karena COVID-19,” paparnya.

Meski demikian, Couteau mengaku kaget dengan fakta orang Bali disebutnya “luput” dari serangan COVID-19.

Kondisi ini terjadi, karena oran diatur dengan sistem banjar, yang memiliki otoritas penuh mengatur warga dan mengantisipasi masuknya pihak lain ke wilayahnya dengan menanyakan tujuan perjalanan orang lalu lalang di banjar.

“Diyakini kondisi ini menjadikan penanganan COVID-19 terbaik di Indonesia dan dunia,” ulasnya. Tubuh manusia Bali sangat lekat dengan nuansa komunal, bekerja secara kolektif di bawah naungan desa/banjar adat kini sedang berhadapan wabah pandemi COVID-19.

COVID-19 mengharuskan manusia Bali mengadopsi nilai-nilai baru yakni social distancing, pakai masker dan tidak bersentuhan satu sama lain. Kondisi ini dalam jangka panjang dapat mengubah kebudayaan Bali yang tidak sesuai dengan bahasa tubuh manusia Bali selama ini.

Dalam berdamai dengan COVID-19, seniman Bali sebagai salah satu penyangga kebudayaan dituntut lebih kreatif dengan menghasilkan karya-karya sesuai tuntutan jaman.

Secara evolusi sosiologis, menurut Couteau, peran pertanian dalam menyangga perekonomian masyarakat Bali semakin surut dalam kontribusi pertanian terhadap PDRB Bali hanya 20%.

Jika
sebelumnya budaya pertanian sebagai acuan ideologis karena kontribusi pertanian sangat tinggi, dewasa ini telah terjadi pergeseran budaya pertanian ke budaya urban.

“Tanah, tenaga kerja, dan kebudayaan telah menjadi komoditas. Hal ini menimbulkan guncangan psikologis jika tidak ditangani dengan baik menimbulkan radikalisme,” tegas penulis asal Prancis dan menetap di Bali itu.

Ditegaskan, pencegahan radikalisme akibat cultural shock dapat dilakukan dengan penanaman kesadaran bahwa masalah sosial kemasyarakatan ini semakin kompleks.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman maka perlu adanya upaya pemilahan masalah sosial dan masalah budaya yang ada selanjutnya dicarikan solusi masing-masing masalah tersebut. Pandangan lain disampaikan peserta webinar asal Gianya Prof. Dr. Wayan Pastika.

Pastika menolak “pujian” intelektual Jean Couteau dengan menyodorkan fakta jumlah orang terjangkit COVID-19 di Bali lebih banyak dari beberapa provinsi di Indonesia seperti Aceh dan Bangka Belitung.

“Jangan dininabobokan terus orang Bali. Orang Bali menghadapi masalah krusial dimana mereka melakukan kanibal budaya. Orang Bali harus jual tanah untuk membiaya yadnya, termasuk menggelar seni pertunjukkan,” tegasnya lagi.

Webinar dipandu Koordinator Puslit Kebudayaan Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, dibuka Rektor Unud Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K).

Webinar terselenggara berkat dukungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unud dan Jurnal Kajian Bali (terakreditasi Sinta-2) yang tahun ini sudha berusia 10 tahun.

Dari Budaya Pertanian

Prof. Bandem berpendapat, kebudayaan Bali berkembang dari budaya pertanian sehingga sepanjang pertanian di Bali tetap berjalan baik maka kebudayaan Bali tidak akan punah. Pendapat ini melihat, pandangan itu kurang relevan dengan situasi terkini.

Perlu dipikirkan sistem menjaga suasana kegotong-royongan masyarakat Bali khususnya seniman. Seniman, kata Prof. Bandem, menjadi pihak paling menderita di tengah COVID-19.

Pertunjukkan komersial dan pentas dengan system ngayah sudah tidak mungkin digelar karena pemerintah menekankan masyarakat tidak boleh keluar rumah dan berkerumun.

“Seniman Bali sangat patuh himbauan pemerintah kendati pendapatannta hilang. Jadi kedepan perlu dipikirkan ansuransi seniman dan pemasaran hasil karya seniman secara digital,” tegasnya.

Dicontohkan, perajin perak Desak Suarti pernah sukses memasarkan produknya secara digital kepada warga Amerika Serikat pasca peristiwa 11/9 tahun 2001 lalu.

Prof. Bandem menceritakan situasi sulit yang dihadapi seniman saat ini yakni 12 seka tari Barong di Bali yang biasanya pentas setiap pagi dan sore sebelum covid mewabah kini harus tinggal dirumah, lelang lukisan di museum, atau pentas kesenian saat piodalan tidak ada lagi. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini