Yogyakarta– Anugrah Fadly, seorang pria dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), kembali mengukir sejarah. Dengan penuh perjuangan, ia berhasil meraih gelar Magister Pendidikan Luar Biasa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Wisuda Agustus 2025.
Pencapaian ini membuktikan keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih impian, melainkan pendorong untuk terus maju.
Sejak kecil, perjalanan hidup Anugrah, yang akrab disapa Uga, tidak pernah mudah. Ia kerap menghadapi penolakan dan kesulitan saat menempuh pendidikan di sekolah umum maupun khusus.
“Di masa sekolah, saya lebih banyak merasa tersisih. Tidak semua guru dan teman memahami kondisi saya,” kenangnya saat ditemui usai wisuda. Namun, kegigihannya membawa ia menemukan “rumah” di dunia seni.
Titik baliknya terjadi saat ia diterima di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di sana, Uga merasa bebas berekspresi, diterima, dan menemukan jati dirinya.
“Awalnya saya minder, apalagi harus berinteraksi dengan mahasiswa dari luar negeri. Tapi justru dari mereka saya belajar membuka diri,” ungkapnya.
Setelah lulus dari ISI, Uga melanjutkan studinya di Magister Pendidikan Luar Biasa UNY. Di bawah bimbingan dosen, ia serius menggarap isu inklusi bagi anak-anak autis melalui pendekatan seni.
Tesisnya berjudul “Respon Anak Autis Terhadap Kegiatan Pameran Seni Rupa I’M POSSIBLE: Ekspresikan Dirimu” menjadi bukti nyata.
Ia membuktikan seni tidak hanya menjadi karya, melainkan jembatan bagi anak-anak autis untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
“Hasilnya luar biasa. Anak-anak jadi lebih percaya diri, lebih fokus, dan mulai terbuka dalam berkomunikasi,” jelas Uga. “Bagi saya, ini bukan sekadar tugas akademik. Saya paham betul bagaimana rasanya tidak dipahami. Itulah kenapa saya ingin anak-anak autis punya ruang untuk bicara lewat seni.”
Dengan IPK 3,45, Uga tidak hanya meraih gelar, tetapi juga menginspirasi banyak orang. Ia berencana melanjutkan ke jenjang doktoral dengan misi yang lebih besar: membuka ruang seluas-luasnya agar anak-anak autis bisa mengekspresikan diri, dihargai, dan didengar.
“Seni dan pendidikan adalah jalan pengabdian saya,” tutup Uga. Kisahnya menjadi pengingat bahwa dengan semangat, dukungan, dan ketekunan, tidak ada mimpi yang mustahil untuk diraih. ***