JAKARTA- Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen yang diumumkan untuk tahun 2025, bersamaan dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Abdul Muttalib Hamid menilai kedua kebijakan ini akan menciptakan dinamika yang kompleks antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Muttalib memaparkan, dari aspek pemerintah, kenaikan UMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh melalui kenaikan UMP, yang diharapkan dapat mendorong permintaan domestik.
Namun, kenaikan PPN menjadi 12 persen dinilainya dapat menggerus daya beli masyarakat.
“Hal ini berpotensi menurunkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi,” papar Muttalib pada awak media, Minggu 8 Desember 2024.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah pendukung untuk mitigasi dampak negatif dari kenaikan UMP.
Termasuk pelatihan keterampilan bagi pekerja dan insentif bagi UMKM untuk menjaga stabilitas ekonomiKebijakan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara meningkatkan kesejahteraan buruh dan mendukung pertumbuhan sektor industri.
Dari perspektif pengusaha, kata Muttalib, kenaikan UMP dianggap meningkatkan beban operasional, khususnya di sektor padat karya.
Kenaikan UMP ini dinilai dapat memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena banyak pengusaha merasa tidak mampu menanggung biaya tambahan dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Pengusaha khawatir bahwa kombinasi antara kenaikan upah dan pajak akan menyebabkan peningkatan biaya produksi yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.
“Namun, beberapa ekonom berpendapat bahwa jika daya beli buruh meningkat akibat kenaikan UMP, ini dapat merangsang permintaan terhadap produk-produk industri, sehingga omzet pengusaha juga dapat meningkat,” jelas Muttalib.
Oleh karena itu, ia mengimbau pengusaha untuk mencari cara alternatif dalam mengelola biaya tanpa harus melakukan PHK.
Sementara dari sisi pekerja, kenaikan UMP adalah langkah positif yang disambut baik oleh serikat buruh.
Meskipun demikian, buruh mengkhawatirkan dampak dari kenaikan PPN yang dapat mengurangi daya beli mereka secara keseluruhan.
“Jika PPN tetap dinaikkan, maka efek positif dari kenaikan UMP bisa jadi tidak berarti buruh menuntut agar kenaikan upah lebih signifikan untuk mengimbangi inflasi dan biaya hidup yang terus meningkat,” kata Muttalib.
Implikasi Ekonomi dan Perputaran Uang
Muttalib menjelaskan, kenaikan UMP diharapkan dapat meningkatkan pendapatan buruh, yang pada gilirannya akan mendorong konsumsi domestik.
Namun, jika PPN naik tanpa diimbangi dengan kenaikan upah yang memadai, kata dia, daya beli masyarakat bisa tertekan.
“Hal ini berpotensi mengurangi konsumsi barang dan jasa, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” jelasnya.
Menurutnya, kondisi ini juga memiliki implikasi terhadap investasi asing.
Ketidakpastian mengenai stabilitas ekonomi akibat kombinasi kebijakan ini dapat membuat investor asing ragu untuk berinvestasi.
Jika biaya tenaga kerja meningkat tanpa peningkatan produktivitas atau daya beli yang seimbang, hal ini bisa mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi.
Muttalib menambahkan, kenaikan UMP dan PPN membawa tantangan serta peluang bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Menurutnya, mencapai keseimbangan yang optimal antara peningkatan kesejahteraan buruh dan stabilitas ekonomi, diperlukan dialog konstruktif antara semua pihak serta kebijakan pendukung yang komprehensif.
“Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya bermanfaat bagi pekerja tetapi juga mendukung keberlangsungan usaha dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” tambahnya.***