JAKARTA– Setelah lima tahun terlaksana, program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) resmi ditutup dengan penuh pencapaian. Proyek lintas batas yang melibatkan Indonesia, Timor-Leste, Papua Nugini, dan Australia ini berhasil memperkuat tata kelola regional, melestarikan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan Laut Arafura dan Timor (ATS).
Sebagai proyek strategis dengan pendanaan USD 9,7 juta dari GEF, ATSEA-2 memiliki tiga fokus utama, yakni tata kelola lintas batas, restorasi ekosistem, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam sambutan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP) I Nyoman Radiarta, yang diwakili oleh Kepala Pusat Penyuluhan KP yang juga menjabat sebagai National Project Director (NPD) for ATSEA-2, Yayan Hikmayani, menegaskan bahwa ATSEA-2 telah menjadi katalisator bagi pengelolaan perikanan, perlindungan ekosistem laut, dan mitigasi perubahan iklim di kawasan Laut Arafura dan Laut Timor.
“Proyek ini sejalan dengan Kebijakan Ekonomi Biru Indonesia dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Upaya ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara negara-negara ATS untuk menciptakan Laut Arafura dan Timor yang sehat, tangguh, dan produktif,” ucap Yayan.
Pihaknya pun menilai, Program ATSEA-2 telah memberikan dampak nyata, baik dalam melindungi ekosistem maupun memperkuat kapasitas masyarakat pesisir.
“Dengan berakhirnya Proyek ATSEA-2 di bulan Desember 2024 ini, dan sebagaimana hasil dari Sydney Declaration yang telah dihadiri langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang berakhir hanyalah fasenya. ATSEA masih akan tetap berjalan dan telah bertransformasi menjadi sebuah program dan memiliki mekanisme Tata Kelola regional,” ucap Yayan.
Hal senada disampaikan, Iwan Kurniawan, Programme Manager Nature Climate Energy UNDP. Dikatakan bahwa UNDP membawa keahlian dalam mengintegrasikan konservasi dan pembangunan melalui jaringan global serta mekanisme pembiayaan inovatif, termasuk mendukung pengembangan perdagangan karbon biru berbasis mangrove dan lamun.
“Bersama pemerintah, UNDP siap memobilisasi panduan strategis dan keahlian teknis untuk pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan. UNDP juga membuka peluang kolaborasi dengan sektor swasta untuk investasi dalam solusi berbasis alam,” papar Iwan.
“Melalui hasil Proyek ATSEA, UNDP juga mengajak semua pihak mengoptimalkan potensi ekonomi biru dan perdagangan karbon biru guna mendorong pembangunan berkelanjutan, memperkuat mata pencaharian, dan menjadikan kawasan ini pemimpin global dalam aksi iklim dan konservasi laut,” lanjutnya.
Selama lima tahun implementasinya, ATSEA-2 pun telah berhasil mencatatkan sejumlah pencapaian luar biasa yang memberikan dampak nyata bagi ekosistem laut dan masyarakat pesisir, sekaligus mendukung visi Ekonomi Biru yang berkelanjutan.
Dalam hal konservasi dan restorasi ekosistem, program ini menetapkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pulau Kolepom di Papua Selatan dengan luas mencapai 356.337 hektar. Selain itu, pengelolaan KKP Aru Tenggara berhasil ditingkatkan secara signifikan, mencapai skor EVIKA 72,47 persen pada tahun 2023.
Di bidang pengelolaan perikanan berkelanjutan, ATSEA-2 memperkenalkan pendekatan berbasis ekosistem (EAFM) untuk mengelola spesies penting seperti kakap merah, barramundi, dan udang di Laut Arafura.
Program ini juga melatih 138 nelayan dalam penggunaan e-logbook perikanan, sebuah teknologi digital untuk memantau hasil tangkapan, guna meningkatkan transparansi dan akurasi data perikanan.
Tidak hanya itu, pemberdayaan masyarakat pesisir menjadi fokus utama. Kelompok perempuan di NTT dan Papua Selatan kini memiliki sumber pendapatan baru melalui produksi minyak kelapa murni (VCO), sabun rumput laut, dan berbagai produk berbasis ikan.
Upaya ini didukung oleh restorasi ekosistem pesisir, termasuk penanaman mangrove dan rehabilitasi terumbu karang yang menjadi habitat penting bagi keanekaragaman hayati laut.
Dalam hal pengelolaan polusi laut, ATSEA-2 juga mengambil langkah preventif dengan menerapkan sistem peringatan dini untuk tumpahan minyak di NTT dan menyusun rencana kontingensi polusi laut, memastikan bahwa dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan secara cepat dan efektif.
Penutupan ATSEA-2 bukanlah akhir, melainkan awal dari keberlanjutan yang lebih besar. Strategi Keberlanjutan yang diperkenalkan dalam acara ini memastikan bahwa hasil program dapat diintegrasikan ke dalam tata kelola nasional dan regional. Dukungan dari mitra internasional, pendanaan CSR, dan kolaborasi lintas sektor akan menjadi fondasi implementasi jangka panjang.
Program ini pun menjadi model pengelolaan wilayah laut lintas batas, mempertegas peran Indonesia dalam menjaga kelestarian Laut Arafura dan Timor untuk generasi mendatang.
Dengan berakhirnya proyek ATSEA-2, langkah ke depan akan difokuskan pada keberlanjutan melalui ATSEA-3 dan dukungan mekanisme tata kelola regional. Pertemuan ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas batas dalam mengatasi tantangan global, seperti perubahan iklim, polusi laut, dan kerusakan keanekaragaman hayati.
“Sinergi dan kolaborasi lintas negara menjadi fondasi keberhasilan kita. Bersama, kita wujudkan ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia dan alam,” ucap Yayan.
Dalam kesempatan tersebut, juga dilaksanakan Penyerahan Exit Strategy Document dari BPPSDM KP kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, bertujuan untuk memastikan keberlanjutan inisiatif yang telah dilaksanakan, serta mendukung kelanjutan pengelolaan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di tingkat regional.
Atas penyerahan Exit Strategy Document tersebut, Sekretaris DJPKRL, Kusdiantoro, sampaikan bahwa sebagaimana komitmen KKP, dukungan ini ditujukan untuk mengoptimalkan dan mendukung berbagai upaya konservasi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Harapannya, program ATSEA 3 dapat berjalan lebih baik, dan berbagai ‘pekerjaan rumah’ yang ada dapat diselesaikan melalui program ini. Jika masyarakat pesisir sejahtera, itu menjadi indikator bahwa program ini memberikan manfaat nyata bagi ekosistem dan masyarakat terkait,” tuturnya.
Acara penutupan ini sendiri dihadiri para pemangku kepentingan dari keempat negara, serta mitra internasional seperti UNDP dan Global Environment Facility (GEF), yang telah mendukung perjalanan panjang ini.***