Denpasar– Pulau Bali, sebagai magnet pariwisata dunia, ternyata menyimpan kerentanan tinggi terhadap ancaman bencana alam. Berada di jalur zona subduksi lempeng tektonik, gempa bumi dan tsunami selalu membayangi.
Potensi ini diperparah oleh dampak perubahan iklim global yang memicu bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor, yang belakangan ini kian sering melanda.
Namun, di tengah tingginya ancaman tersebut, tingkat kesiapsiagaan masyarakat Bali dinilai masih belum optimal. Kesenjangan ini dipicu oleh minimnya sosialisasi, terbatasnya simulasi latihan, dan sulitnya akses informasi yang mudah dipahami publik.
Menyadari peran vital media massa sebagai jembatan informasi dan edukasi, sebuah pelatihan khusus bagi jurnalis diselenggarakan pada 1 Oktober 2025 di Denpasar. Pelatihan ini bertujuan untuk mencetak “Jurnalisme Solutif” dalam konteks kebencanaan.
Ketua Panitia Pelatihan, M. Ridwan, menegaskan, peliputan bencana yang akurat, berimbang, dan edukatif sangat urgen untuk membangun kesadaran kolektif.
“Pelatihan ini dirancang untuk membekali jurnalis dengan pengetahuan dan keterampilan relevan agar dapat menjalankan perannya secara optimal dalam konteks kesiapsiagaan bencana di Bali,” ujar Ridwan, yang juga Pemimpin Redaksi radarbali.id dan Jawa Pos TV Bali.
Ia menyoroti tantangan yang kerap dihadapi wartawan, mulai dari keterbatasan pemahaman teknis dan data valid, hingga tekanan untuk memberitakan secara sensasional.
Direktur Jawa Pos TV Bali, Ibnu Yunianto, menekankan, jurnalisme saat ini harus bergerak lebih jauh.
“Kita ingin Jurnalisme Solutif, yaitu mendorong wartawan untuk tidak hanya memberitakan peristiwa bencana, tetapi juga menggali dan memberitakan upaya-upaya mitigasi, kesiapsiagaan, dan rekonstruksi pascabencana secara edukatif,” tegasnya.
Menurut Ibnu, jurnalis kontemporer harus menjadi garda terdepan dalam menerjemahkan data ilmiah yang kompleks, seperti isu perubahan iklim dan dinamika risiko bencana, menjadi informasi yang relevan dan mudah dipahami publik.
“Memahami dinamika iklim dan risiko bencana bukan hanya soal menambah wawasan, melainkan tentang menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup,” tambahnya.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah III, Cahyo Nugroho, menyebut jurnalis sebagai “ujung tombak” penyampaian informasi kebencanaan.
“Bagi kami di BMKG, jurnalis adalah ujung pena sebagai pencerah informasi yang benar tentang potensi berbagai bencana alam, khususnya di Bali sebagai daerah pariwisata dunia, sehingga masyarakat teredukasi dengan baik,” ungkap Cahyo.
Ia memaparkan, secara geografis, Bali terletak di jalur megathrust Selatan dan patahan di Utara, dengan tragedi Tsunami Banyuwangi dan gempa Seririt di masa silam sebagai bukti ancaman nyata.
Ia juga mengingatkan bahwa bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang pada 10 September 2025 lalu, merupakan dampak dari pancaroba ekstrem yang menuntut peran media dalam memberikan edukasi yang benar, bukan sekadar informasi.
Pelatihan ini secara spesifik bertujuan untuk:
Meningkatkan pemahaman wartawan tentang jenis-jenis bencana (gempa, tsunami, banjir, longsor) dan dampaknya.
Mengasah keterampilan liputan yang akurat dan bertanggung jawab.
Mengenalkan etika peliputan bencana untuk menghindari sensasionalisme dan menjaga privasi korban.
Membangun jaringan komunikasi kuat dengan pemangku kepentingan kebencanaan (BMKG, BPBD, Basarnas, akademisi).
Pelatihan ini menghadirkan para pakar dari instansi terkait, termasuk mantan Kalaksa BPBD Bali Made Rentin, serta ahli dari BMKG yang akan membahas sistem peringatan dini, prakiraan musim, hingga potensi gempa bumi dan tsunami di Bali. ***