Jakarta – Sebagai tempat yang digandrungi anak anak maupun remaja tempat wisata Ancol di Jakarta mestinya memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Hal tersebut disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam siaran persnya, Rabu (8/1/2019).
Tulus mengungkapkan, Ancol belum bebas dari asap rokok, seharusnya sebagai tempat wisata yang digandrungi anak anak dan remaja, maka seharusnya Ancol adalah Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Apalagi secara regulasi Ancol adalah sebagai area KTR. Ironisnya, tim YLKI menemukan lapak kaki lima yang berjualan vape atau rokok elektronik di area Ancol.
Secara keseluruhan kualitas pelayanan Ancol kepada wisatawan sudah baik dan profesional. Namun ada beberapa aspek yang perlu diperaiki ditingkatkan, itulah kesimpulan saya dan tim YLKI saat mengunjungi Ancol, Selasa, 31/12/2019; beberapa jam menjelang perayaan tahun baru.
Harus diakui, Ancol semakin baik karena banyak infrastruktur dan fasilitas baru bagi penggunanya. Ini akan menambah daya tarik warga Jakarta, bahkan Indonesia, untuk menjadikan Ancol sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Jakarta.
Dalam hal pengelolaan parkir sudah baik, tidak ada preman dan tidak ada pungli. Di berbagai lokasi parkir ditulis “parkir gratis”. Demikian juga untuk toilet, juga baik dan persih, walau diubinnya banyak pasir bekas tapak kaki. Namun terjadi antrian di toilet perempuan.
Diperlukan toilet tambahan khusus untuk perempuan. Juga untuk angkutan bus wira wiri, secara umum juga baik, walau penandaan adanya halte bus wira wiri kurang jelas. Keberadaan angkutan khusus untuk difabel, juga patut diapresiasi.
Meski demikian kata Tulus, ada beberapa hal mendasar yang harus diperbaiki dan ditingkatkan.
Dalam suasana peak session seperti perayaan tahun baru, petunjuk arah kedatangan dan arah keluar kendaraan tampak kurang jelas/kurang terarah, sehingga banyak pengguna kendaraan pribadi mengalami kebingungan sehingga menyebabkan kemacetan.
Bahkan waktu itu petugas pun nampak bingung dengan kepadatan lalu lintas yang kian _crowded_. Sistem ticketing yang masih konvensional, konsumen harus bayar secara cash Bahkan YLKI mendapati konsumen yang tidak bawa uang _cash_ dan mau bayar pakai non cash tidak bisa.
Petugas memerintahkan konsumen untuk ambil uang ke ATM. Seharusnya sekelas Ancol sudah harus pakai tiket elektronik, jangan kalah dengan bonbin Ragunan, yang notabene harga tiket masuknya jauh lebih murah.
Kata Tulus, idalnya tiket masuk Ancol sudah bisa terintegrasi dengan tiket Transjakarta. Dengan sistem ticketing yang masih konvensional itu, maka pendapatan finansial Ancol dari tiket patut diduga tidak akuntabel dan transparan.
Kemudian, kapal wisata yang beroperasi di area Ancol tidak mempunyai standar keamanan dan keselamatan yang jelas, karena: tidak mempunyai life jacket yang cukup, dan tidak menggunakan tiket untuk pembayaran, sebesar Rp 20.000 per pax.
Jika terjadi kecelakaan siapa yang bertanggungjawab? Bahkan ada konsumen penumpang perahu yang merokok di dekat mesin perahu, tapi ditegur marah marah.
Tiket masuk Ancol juga tidak menyebutkan adanya asuransi bagi konsumen. Entah konsumen Ancol dijamin asuransi atau tidak. Seharusnya ada asuransi bagi konsumen, dan disebutkan secara jelas di dalam tiket tersebut.
Kemudian, masih banyak sampah plastik berserakan di sekitar pantai di Ancol, bahkan termasuk di pantai di dekat restoran ternama: Bandar Jakarta! Dengan demikian, pantai di Ancol berkontribusi terhadap pencemaran di laut oleh sampah plastik, yang kini kian parah.
“YLKI meminta agar managemen Ancol memperbaiki dan meningkatkan performa pelayanannya, guna menjamin adanya peningkatan kualitas keamanan, keselamatan dan kenyamanan pengunjungnya sebagai pengguna jasa wisata,” demikian Tulus. (rhm)