Jakarta – Produksi minyak sawit global telah melampaui produksi minyak nabati lainnya selama satu dekade terakhir. Indonesia, Malaysia dan Thailand memproduksi lebih dari 80% produksi minyak sawit global dimana jumlahnya hampir sepertiga dari produksi minyak nabati dunia (OECD/FAO, 2024).
Kedepan FAO dan OECD memproyeksikan produksi minyak kelapa sawit akan meningkat sebesar 0,7% per tahun hingga tahun 2033 (FAO/OECD, 2024). Alasan utama proyeksi ini karena minyak sawit merupakan minyak nabati yang murah dan memiliki banyak kegunaan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Selain dapat dikonsumsi langsung, minyak sawit merupakan bahan baku berbagai industri.
Industri oleofood memanfaatkan minyak sawit untuk menghasilkan minyak goreng, margarin, shortening, selai, kue, bumbu mie instan, biskuit, dan krimer. Industri oleokimia menggunakan minyak sawit untuk membuat kosmetik, sampo, deterjen, sabun, tinta printer, dan minyak pelumas. Minyak sawit (CPO) berperan penting bagi industri biofuel untuk menghasilkan biodiesel. Tidak hanya buahnya yang menghasilkan biodiesel, cangkang kelapa sawit dapat diolah menjadi biomassa sebagai sumber Energi Terbarukan (EBT) yang berguna mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
Terkait kegunaan kelapa sawit (CPO) dan limbahnya sebagai penghasil biofuel di dalam negeri, implementasinya harus terus didorong oleh Pemerintah Indonesia karena sejalan dengan kebijakan transisi energi. Kebijakan transisi energi bertujuan mengurangi emisi GRK dengan beralih dari bahan bakar fosil ke sumber EBT.
Kebijakan transisi energi Indonesia tertera dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014. Target awal transisi energi pada PP No 79 meliputi EBT harus mencapai setidaknya 23% pada 2025 dan 31% pada 2050, konsumsi minyak harus dikurangi menjadi kurang dari 25% pada 2025 dan 20% pada 2050, porsi batu bara ditargetkan minimal 30% pada 2025 dan 25% pada 2050 serta Gas alam harus mencapai 22% pada 2025 dan 24% pada 2050.
Target awal transisi energi khususnya ditahun 2025 dapat dipastikan tidak akan tercapai melihat keputusan pemerintah terus memproduksi batubara. Tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) dengam volume rencana produksi komoditas batubara mencapai 922,14 juta ton, 917,16 juta ton dan 902,97 ton secara berurutan dari tahun 2024 hingga 2026. Dampak dari persetujuan RKAB ini adalah penyesuaian target pemanfaatan EBT diturunkan dari 23% menjadi 17% pada 2025 oleh Dewan Energi Nasional.
Walaupun Indonesia memiliki kerangka kerja transisi energi seperti PP No. 79 Tahun 2014, Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Perpres No. 112 Tahun 2022 terkait prioritas energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan dan pembatasan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru, namun nyatanya pemerintah tetap mengandalkan investasi batu bara sebagai sumber pendapatan negara sekaligus bahan baku pembangkit listrik. Dampak inkosistensi antara rencana dan realisasi transisi energi menimbulkan pertanyaan dunia terkait komitmen Indonesia memproduksi energi hijau dan berkelanjutan.
Melampaui Target
Berbeda dengan Indonesia yang inkonsisten terhadap rencana kerja karena tetap mempertahankan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik (energi primer), Jepang sejak 2014 masif mengimpor cangkang dan batang pohom kelapa sawit, pellets serta chips kayu yang mayoritas berasal dari negara ASEAN sebagai bahan baku pembangkit listrik EBT/ biomassa.
Impor bahan baku ini dilakukan untuk mencapai target bauran energi 2030 yang termaktub dalam dokumen Rencana Energi Strategis (RES) Kabinet Jepang 2014. RES sendiri disusun sebagai bentuk pencarian opsi sumber energi yang lebih aman pasca bencana gempa bumi dan kecelakaan di PLTN Fukushima Daiichi pada 2011.
Dalam RES, Negeri Sakura menargetkan 36% hingga 38% dari total bauran energi berasal dari sumber EBT pada tahun 2030. Rincian sumber EBT yang ditargetkan mencakup tenaga surya sebesar 14% hingga 16%, tenaga air 11%, tenaga angin 5%, biomassa 5% dan panas bumi 1%.
Selain dokumen RES, tren peningkatan impor biomassa di Jepang didukung oleh kebijakan skema Feed-in Tariff (FIT) yang berlaku sejak 2012. Kebijakan FIT berupa pemberian insentif fiskal, finansial dan kepastian investasi bagi pelbagai investor pembangkit listrik energi terbarukan. Kebijakan FIT diterbitkan Jepang untuk mencapai target dekarbonisasi.
Empat implementasi konkret kebijakan FIT adalah pertama, pemberian bunga pinjaman rendah untuk proyek-proyek biomassa. Pemerintah Jepang memberikan subsidi biaya infrastruktur dan operasional terkait proyek biomassa, seperti riset pengolahan bahan baku biomassa, manajemen pengelolaan bahan baku biomassa dan pembangunan jaringan distribusi listrik berbahan baku biomassa.
Kedua, ketersediaan pasar pasokan tenaga listrik. Pembangkit listrik dan perusahaan listrik yang mengadopsi kebijakan FIT mendapatkan kepastian serapan listrik lewat perjanjian tentang pembelian pasokan listrik yang difasilitasi negara.
Ketiga, kepastian harga dan periode pembelian. Hal ini menjadi kewenangan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang dalam rangka memberikan kepastian profit investasi bagi investor proyek energi listrik dengan bahan baku EBT.
Keempat, pengurangan tarif impor untuk bahan baku biomassa mendukung impor biomassa. Hal ini membuat bahan baku di Jepang melimpah, lebih terjangkau dan mengurangi biaya operasional pembangkit listrik.
Pasca skema FIT berlaku, menurut data Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) hingga Maret 2020 pembangkit listrik biomassa yang beroperasi di Jepang telah memiliki kapasitas 4.500 MW. Namun data yang patut digarisbawahi dari laporan ERIA adalah kapasitas investasi kebijakan FIT yang disetujui Pemerintah Jepang sudah mencapai 10.830 MW per 2021. Angka ini sudah melampaui target kapasitas pembangkit listrik biomassa Jepang pada 2030, yaitu 6.020-7.280 MW. Pemerintah Jepang tinggal menunggu pembangkit listrik biomassa berkapasitas 6.330 MW beroperasi sebelum 2030.
Sejarah Berulang
Dalam satu dasawarsa terakhir terjadi tren kenaikan impor biomassa Jepang dari Indonesia. Dari 2014 hingga 2024 lonjakan ekspor wood pellets Indonesia ke Jepang mencapai 17.578% (BPS, 2024). Selain wood pellets, Jepang saat ini merupakan pasar terbesar bagi cangkang sawit Indonesia dengan pangsa 84,5% dari total ekspor. Potensi produksi cangkang kelapa sawit mencapai 13,4 juta ton per tahun. Pada 2023 nilai ekspor cangkang sawit Indonesia ke Jepang senilai USD 550,98 juta, naik 40 persen dibanding 2022.
Jika kita melihat besarnya kebutuhan Jepang dari biomassa Indonesia sebagai sumber energi saat ini, maka dapat dikatakan sejarah delapan puluh dua tahun lalu terulang. Tahun 1942, tentara Angkatan Laut (AL) Jepang mulai menjajah Indonesia untuk mengumpulkan minyak bumi. Hal ini sebagai respon distopnya ekspor minyak bumi dari Amerika Serikat yang kala itu menjadi musuh Jepang. Saat ini, Jepang mengimpor biomassa dari Indonesia sebagai bahan baku pembangkit listrik mengantikan nuklir akibat kecelakaan PLTN Fukushima Daichi yang banyak memakan korban jiwa.
Fenomena inkonsistensi transisi energi Indonesia dan peningkatan impor biomassa dari Indonesia ke Jepang menunjukkan manifestasi neo-kolonialisme antara Jepang-Indonesia. Neo-kolonialisme adalah sebuah konsep yang mengacu pada bentuk baru dari imperialisme dan kolonialisme namun dengan metode lebih halus dan tidak langsung tanpa menggunakan intervensi politik atau militer. Biasanya ini terjadi antara negara penjajah dan bekas jajahannya.
Dampak dari manifestasi neo-kolonialisme energi terbarukan dalam sepuluh tahun terakhir adalah Jepang mendapatkan pasokan biomassa yang stabil dan murah untuk pemenuhan kebutuhan listrik domestiknya, sedangkan Indonesia harus menanggung masalah deforestasi dan degradasi lingkungan yang tidak sebanding dengan nilai ekonomi ekspor biomassa. Melihat dampak bagi Indonesia, besar harapan penulis Presiden Prabowo serta kabinet merah-putih tidak tutup mata terhadap fenomena ini. Semoga!***