DENPASAR – Ribuan sopir taksi konvensional di Bali kini nasibnya dipertaruhkan dengan kian agresifnya uber dan grab taxi yang berbasis aplikasi digital menancapkan kuku bisnis di Pulau Seribu Pura. Gelombang penolakan terus disuarakan seperti dari Persatuan Sopir Taksi Bali (Persotab).
Bagi mereka, tidak ada kata lain kecuali menolak beroperasinya uber dan grab taxi. Lantas, apa alasan sebenarnya mereka? Berikut, pernyataan yang disampaikan kepada wakil rakyat dan Pemerintah Provinsi Bali yang ditandatangani perwakilan mereka, Ketut Suwitra.
Salah satu sektor penunjang pariwisata yang sudah lama digeluti oleh masyarakat Bali adalah usaha di bidang transportasi. Awalnya, usaha bidang transportasi dilakukan swadaya masyarakat lokal, baik usaha perorangan maupun secara berkelompok melalui Koperasi maupun dalam bentuk paguyuban.
Usaha swadaya masyarakat tersebut selama ini berjalan secara mandiri, dengan kata lain tidak pernah menuntut perhatian lebih dari pemerintah.
Permodalan maupun upaya-upaya peningkatan mutu layanan berupa pemberian fasilitas layanan yang terbaik maupun peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), selama ini kami lakukan sendiri secara otodidak.
Namun, belakagan ini, usaha swadaya masyarakat lokal yang berupaya mengais untung dari sub-sub pariwisata tersebut mulai dimangsa oleh pemodal-pemodal besar di bidang transportasi.
“Kami yang tumbuh kembang dengan modal kecil dan swakelola tentu saja hanya akan menjadi santapan bagi pemodal besar. Dengan alasan telah sesuai dengan aturan, profesionalisme, konsekuesi persaingan usaha,” tutut
Witra dalam pernyataan sikapnya diterima Kabarnusa.com, Jumat (22/1/2016).
Walau terdiri dari individu-individu maupun paguyuban-paguyuban, jumlah mereka tidak sedikit. Dari hasil konsolidasi kami terakhir, berdasrkan data yang dihimpun oleh berbagai paguyuban yang tergabung dalam aliansi ini, jumlah kami lebih kurang 6000 orang.
“Bayangkan, bila satu orang sopir rata-rata menanggung nafkah 4 orang dalam keluarganya, maka akan ada sekitar 240.000 orang yang menggantungkan hidup dari mata pencaharian kami ini,” tuturnya.
Witra melanjutkan, alasan penolakan atas uber dan grab tidaklah mengada-ada. Tetapi selama keberadaan dua grup transportasi ini di Bali betul-betul telah mematikan mata pencaharian mereka. Disebutkan, pertama sekilas jika diperhatikan, model pengelolaan Uber Taxi dan Grap Taxi yang berbasis aplikasi android tampak sebagai sebuah inovasi dalam bisnis transportasi.
Lantas sebagian pihak menilai bahwa ketika model konvensional yang kami lakukan lambat-laun mati suri dianggap sebagai konsekuensi persaingan usaha, sebegitu dangkalkah pemikiran kita? Sebegitu rendahkah perhatian Pemerintah pada kaum lemah.
Yang kedua, pemerintah tidak bisa lepas tangan begitu saja melemparkan nasib kami yang berjumlah ribuan ini pada mekanisme pasar, persaingan usaha dan berbagai macam pembenaran.
“Justru sebaliknya, pemerintahlah yang harus melindungi kami, meningkatkan SDM kami, memfasilitasi kami, membimbing kami, dan membantu kami dalam menerapkan teknologi kekinian agar kami tidak rapuh dihantam oleh kekuatan modal besar,” sambungnya.
Sebab jika tidak, sopir taksi itu sebagai masyarakat kecil hanya akan menjadi penonton di rumah kami sendiri. Ketiga, jika harus merujuk pada aturan, pihaknya mempertanyakan: dasar hukum apakah yang menjadi landasan beroperasinya Uber Taxi dan Grap Taxi di Bali?
“Keempat, karena Uber Taxi dan Grap Taxi merupakan koorperasi dengan modal besar, terjadilah “banting” tarif yang tidak sehat,” tuturnya. Para sopir taksi yang kecil-kecil ini tentu tidak dapat bertahan dalam persaingan yang tidak sehat. Pada waktunya akan mati dan punah.
Saat usaha mereka mati itulah, pemodal besar seperti Uber dan Grap Taxi akan berjaya karena cadangan modal mereka cukup untuk banykit kembali dan menari-nari di atas penderitaan kami.
Cara pandang persoalan kehadiran Uber Taxi dan Grap Taxi ini tidak bisa menggunakan kacamata hukum konvensional yang bicara penegakan hukum positif semata. Tetapi lebih pada aspek sosiologi hukum, di mana ada kepentingan kaum kecil yang mesti dilindungi di sana.
Selanjutnya persoalan lain yang perlu mereka respon terkait pembangunan sektor pariwisata di Bali adalah pro kontra reklamasi/revitalisasi Teluk Benoa. Dalam pandangan kami sebagai pelaku di bidang transportasi, jika ada efek peningkatan kunjungan wisatawan akibat dari pembangunan tersebut, tentu saja kami sambut dengan senang hati.
Namun, yang menjadi catatan penting bagi kami adalah jangan sampai penerima manfaat dari mega proyek ini adalah mereka yang datang dengan modal besar dari luar sana.
Sementara kami sebagai pelaku lokal hanya akan menjadi penonton saja. Oleh karena itu pemerintah harus memfasilitasi agar kami diakomodir untuk merasakan manfaat dari mega proyek revitalisasi Teluk Benoa nantinya.
“Demikian pernyataan ini, kami berharap Pemerintah baik legislatif maupun eksekutif dapat segera menindaklanjuti aspirasi kami,” imbuhnya. Mereka berharap. sekiranya dapat segera mengkoordinasikan dengan instansi-instansi terkait agar dapat mengambil tindakan untuk
menghentikan segala aktivitas Uber Taxi dan Grab Taxi di Bali. (rhm)