Berpolitik yang Seharusnya ala Made Arjaya

10 Desember 2013, 06:45 WIB
Made Arjaya dan istri Wawa Lin (kabarnusa)

Kabarnusa.com, Denpasar – Berpolitik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari sehingga siapapun sejatinya telah berpolitik untuk mencapai tujuan. Satu hal terpenting dalam berpolitik adalah konsistensi dan keteguhan memegang prinsip. Hal itulah yang selalu menjadi pegangan Made Arjaya politisi PDI Perjuangan dalam berpolitik hingga sekarang.

Politik telah mendarah daging dalam diri Arjaya, selain mewarisi darah sang ayah Nyoman Lepug yang aktivis PNI, suami Wawa Lin itu juga besar dalam berbagai tempaan pengalaman berinteraksi dengan segala situasi politik.

Setelah malang melintang di dunia politik, dengan menggenggam jabatan politik sebagai wakil rakyat di Kota Denpasar dan sekarang DPRD Provinsi Bali, Arjaya memilih untuk berpikrah jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Langkahnya, terbuka lebar dan pilihan berkiprah di jalur DPD nyaris tanpa mengubah keteguhannya sebagai seorang yang besar dari darah PDIP. Menjelang pemilu legislatif 2014, Arjaya menerbitkan buku yang ditulis dua wartawan senior Yahya Umar (Denpasar Post) dan Wayan Arnyana (Warta Bali).

Buku berjudul “Made Arjaya Nyawa Bali,” setebal 2008 itu merekam perjalanan atau karir politik pria kelahiran Denpasar 16 Februari 1972 itu,

“Saya hanya ingin menyampaikan, bahwa berpolitik itu perlu konsistensi dan komitmen terhadap apa yang menjadi prinsip kita. saya sudah buktikan itu semua,” kata Arjaya usai launching buku di kediamannya Sanur, Denpasar, Senin 9 Desember 2013.

Dalam buku keduanya itu, bapak empat anak tersebut ingin mengajarkan bahwa apapun yang terjadi, memegang komitmen dan prinsip adalah hal utama bagi seorang politisi.

Sebagai politisi senior PDIP, Arjaya mengakui tidak mudah untuk memegang konsistensi, berbagai tempaan, ujian, kontroverso hadangan dan tantangan kerap diterima.

Dia mengaku, bisa melewati itu semua dengan baik tanpa harus keluar atau menciderai prinsip-prinsip yang dipegangnya selama ini.

Dia bisa membuktikan di saat situasi yang tidak menguntungkannya sekalipun akibat perbedaan-perbedaan cara pandang dan pemikiran baik di partai maupun di lembaga wakil rakyat, dirinya tidak terjebak kepada kepentingan jangka pendek, pragmatis namun tetap konsisten dengan perjuangannya di rumah PDIP.

Baginya, menegakkan etika moral dalam politik jauh lebih utama dan mulia dari berbagai jabatan atau kekuasaan.. Kepentingan masyarakat atau nyawa Bali itulah yang senantiasa menjadi tujuannya berpolitik berkiprah baik di partai maupun di lembaga legislatif ataupun eksekutif.

“Buku ini berisi perjalanan politik saya, apa yang saya rasakan langsung, apa yang ada dalam pikiran dan apa yang akan saya lakukan di masa nanti,” tuturnya.

Pendek kata, Arjaya ingin menyampaikan pesan bagaimana berpolitik yang seharusnya bahwa segala perbedaan tidaklah harus membuat permusuhan, kebencian bahkan perpecahaan.

Arjaya memilih berpolitik jalan lurus, tidak berbelok, tidak berpaling sejak masuk di PDIP tetap konsisten berada dan membesarakan partainya dengan atau tanpa jabatan sekalipun.

Tak heran jika dia kemudian mengkampanyekan salah satu idiom dan simbol yang cukup dikenal bagi masyarakat yakni warna poleng. Diapun mulai akrab dengan sebutan Pan Poleng.

“Saya ingin menyatukan segala perbedaan, bahwa perbedaan itu keniscayaan dalam hidup yang harus diterima. Jangan sampai membuat kita pecah, bermusuhan, nyawa Bali kepentingan masyarakat itu yang utama,” tutupnya. (rma) 

Berita Lainnya

Terkini