BI Sebut Rupiah Tertekan Kepanikan Pasar Keuangan Global Akibat Corona

8 April 2020, 10:58 WIB
trisno%2Bn
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho/ist

Denpasar – Meningkatnya tekanan terhadap Rupiah sebagai akibat kepanikan pasar kuangan global yang dipicu oleh pandemi virus corona atau Covid-19.

Bank Indonesia menilai bahwa cadangan devisa saat ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah.

“Penurunan cadangan devisa pada Maret 2020 dipengaruhi pembayaran utang luar negeri pemerintah dan keperluan stabilisasi nilai tukar Rupiah di tengah kondisi ‘extraordinary’,” tutur Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho melansir pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, Rabu (8/4/2020).

Hal itu disebabkan, kepanikan yang muncul di pasar keuangan global dipicu pandemi COVID-19 secara cepat dan meluas ke seluruh dunia.

Trisno menambahkan, kepanikan pasar keuangan global dimaksud telah mendorong aliran modal keluar Indonesia dan meningkatkan tekanan Rupiah, khususnya pada minggu kedua dan ketiga bulan Maret 2020.

“Dengan langkah stabilisasi dan penguatan bauran kebijakan Bank Indonesia, berkoordinasi erat dengan Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kondisi pasar berangsur-angsur pulih dan mekanisme pasar kembali berjalan sejak minggu terakhir Maret 2020,” ungkapnya.

Ditegaskan, Bank Indonesia akan terus menjaga kecukupan cadangan devisa guna mendukung ketahanan eksternal dan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Trisno juga mengungkapkan, kestabilan nilai tukar Rupiah merupakan prioritas saat ini.

Bank Indonesia memandang, tingkat nilai tukar Rupiah relatif memadai dan diperkirakan akan bergerak stabil serta cenderung menguat ke arah Rp 15.000 per dolar AS di akhir tahun 2020.

Nilai Rupiah yang bergerak stabil dan menguat, serta mekanisme pasar yang berlangsung baik, mengakibatkan kebutuhan intervensi dari Bank Indonesia menurun.

Sejak awal tahun hingga saat ini, BI sudah melakukan upaya injeksi likuiditas atau quantitative easing ke perbankan hampir senilai Rp 300 triliun. Kebijakan itu dilakukan sebagai langkah mitigasi dampak ekonomi covid-19.

Dana tersebut disuntikkan melalui pembelian SBN di pasar sekunder, penyediaan likuiditas ke perbankan melalui mekanisme term-repurchase agreement (repo) serta penurunan GWM.

Sementara itu, Bank Indonesia telah mencapai kesepakatan kerjasama repurchase agreement line (repo line) dengan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), senilai USD60 miliar.

Kesepakatan tersebut, dapat dimanfaatkan BI apabila membutuhkan likuiditas dolar AS. “Repo line merupakan fasilitas yang memungkinkan bank sentral atau otoritas moneter untuk mendapatkan likuiditas dolar AS,” jelas Trisno.

Likuiditas itu didapat dengan menjual secara temporer surat berharga yang dimiliki seperti US treasury. Bersamaan itu ada perjanjian untuk membeli kembali.

Kerjasama repo line dikategorikan sebagai Foreign and International Authorities (FIMA), yang hanya diberikan kepada sejumlah bank sentral. Menurut Trisno, hal ini mengindikasikan kepercayaan The Fed terhadap ekonomi Indonesia dan kebijakan makroekonomi.

Selain The Fed, BI juga memiliki kerjasama repo line dengan beberapa lembaga seperti Bank for International Settlement (BIS) senilai USD3 miliar. Termasuk, bank sentral lain di kawasan senilai USD500 juta sampai dengan USD1 miliar.

Kesepakatan kerjasama repo line ini akan memperkuat second line of defense yang telah dimiliki Bank Indonesia selama ini.

Antara lain kerjasama Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan beberapa negara, yaitu People’s Bank of China (PBoC) senilai CNY200 miliar (setara dengan USD30 miliar), Bank of Japan (BoJ) senilai USD22,76 miliar, Bank of Korea (BoK) senilai KRW10,7 triliun (setara Rp115 triliun), dan Monetary Authority of Singapore (MAS) senilai USD10 miliar.

Ditambahkan Trisno, cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2020 tercatat sebesar USD121 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2020 sebesar USD130,4 miliar.

Sementara, posisi cadangan devisa tersebut setara pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini