Ilustrasi/Dok. Pertamina |
Jakarta – Kinerja Holding Minyak Bumi dan Gas (Migas) PT. Pertamina
(Persero) yang membukukan keuntungan (laba) bersih tahunan (Tahun Anggaran
2020) mencapai Rp15,3 Triliun di tengah korporasi Migas besar dunia yang
mengalami kerugian patut diapresiasi terlebih para karyawan yang telah
berkurban untuk meningkatkan kinerja BUMN tersebut.
Berdasarkan keterangan resmi (release) yang disampaikan PT Pertamina (Persero)
pada Hari Senin, 14 Juni 2021, BUMN Holding Migas ini mencatatkan laba bersih
konsolidasian (audited) sebesar US$1,05 Miliar atau sekitar Rp15,3 Triliun
(kurs US$1 =Rp14.572) selama Tahun 2020.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori melihat, laba tersebut sebenarnya mengalami
penurunan drastis sebesar 60,05 persen dibandingkan capaian sejumlah Rp35,8
Triliun pada 2019.
Meski demikian, capaian tersebut masih lebih baik di tengah pandemi Covid-19
yang berdampak kepada fluktuasinya (naik-turun) harga minyak mentah dunia dan
dibandingkan dengan capaian perusahaan minyak dunia lainnya.
Sebagai contoh, misalnya laba bersih perusahaan minyak raksasa Arab, Saudi
Aramco anjlok 44,4 persen menjadi hanya US$49 Miliar pada 2020 dibanding
capaian Tahun 2019 dengan alasan akibat pandemi Covid-19.
Presiden dan CEO Saudi Aramco Amin Nasser melalui CNN.com menyampaikan, bahwa
pandemi covid-19 telah membuat permintaan minyak merosot tajam. Pada saat yang
bersamaan, Arab Saudi justru meningkatkan produksi sebagai bagian dari “perang
harga” melawan produsen minyak Rusia.
Contoh lain, yaitu Exxon Mobile, perusahaan migas Amerika Serikat ini
mengalami kerugian mencapai lebih dari US$22,4 Miliar pada Tahun 2020 atau
setara Rp326,4 Triliun lebih.
Padahal, Tahun 2019, perusahaan ini masih mampu membukukan laba bersih
sejumlah US$14,34 Miliar atau sekitar Rp200,9 Triliun, atau menurun sebesar
lebih dari 400 persen lebih.
Defiyan melanjutkan dengan pertanyaan, bagaimana Pertamina bisa memperoleh
laba bersih yang cukup signifikan itu? Mungkin logika akuntansi sederhana
diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada publik mengenai laporan keuangan
BUMN Pertamina yang telah diaudit tersebut.
Logika Akuntansi Sederhana
Ditengah kondisi perekonomian dunia yang disebut oleh Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati sedang terkena triple shock dan dialami oleh berbagai
perusahaan, capaian kinerja positif Pertamina patut menjadi perhatian publik.
Justru pada masa pandemi Covid-19 Pertamina menunjukkan kinerja yang
berbeda dengan perusahaan migas dunia hebat lainnya.
Seperti dijelaskan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, kemampuan
bertahan dan berkinerja baik dengan melakukan efisiensi 30% pada biaya
operasional dan 25% atas anggaran belanja modal.
Walaupun demikian, Pertamina juga pernah mencapai produktifitas yang kurang
baik, yaitu mengalami kerugian pada Semester I/2020 sejumlah $US 700 Juta atau
sekitar Rp11 Triliun.
Terhadap capaian ini, Pertamin saat itu menepis keraguan publik terhadap
kemampuan memperoleh laba bersih tahunan sampai akhir Tahun 2020 dengan
menanggapinya melalui rasa optimis akan mampu menghasilkan laba bersih
sejumlah $US800 Juta atau sekitar Rp 11,28 Triliun (kurs US$1=Rp 14.100) dan
EBITDA sejumlah $US7 Miliar.
Dengan posisi kinerja keuangan seperti itu, 3 (tiga) lembaga pemeringkat
internasional yaitu Moody’s, S&P, dan Fitch kembali menetapkan Pertamina
pada tingkatan investment grade masing-masing baa2, BBB, dan BBB.
Hal ini menunjukkan, bahwa tingkat kepercayaan investor tetap tinggi dan
mengindikasikan tingkat ketangguhan (resilience) yang cukup baik dalam
mengatasi dampak pandemi covid 19 pada Tahun 2020.
Ditengah kondisi bencana (force majeur) yang mendera bangsa Indonesia dan
berbagai perusahaan migas dan non migas dunia merugi atau berkinerja negatif,
bahkan sampai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawannya,
Pertamina justru memberikan kontribusi atau setoran pada Kas Negara dalam
bentuk pajak, dividen, dan PNBP sampai dengan bulan Oktober 2020 sejumlah
Rp104 Triliun.
Apa yang menyebabkan BUMN Pertamina masih membukukan laba tahunan meski
terjadi penurunan sebesar 60%?.
Secara umum, kalau menggunakan model akuntansi dagang sederhana misalnya,
kalau penjualan pada periode sebelumnya Rp 54.000 dan beban/biaya yang
dikeluarkan hanya Rp46.000, maka terdapat selisih atau laba kotor sejumlah
Rp8.000 lalu dikurangi lagi dengan jumlah beban/biaya administrasi dan umum
akan diperoleh laba bersih.
Apa saja pos-pos beban/biaya dagang serta administrasi dan umum akan sangat
dipengaruhi oleh jenis dan karakter masing-masing usaha/bisnis dalam suatu
industri.
Demikian pula halnya dengan BUMN Pertamina, apa yang membuat perusahaan yang
sahamnya masih 100 persen milik negara ini berkinerja positif? Kalau dari
laporan keuangan konsolidasi yang telah dipublikasikan, maka diperoleh kinerja
penjualan/pendapatan Pertamina Tahun 2020 sejumlah Rp604,3 Triliun.
Kemudian, lanjut Defiyan, dibandingkan penjualan/pendapatan pada Tahun 2019
yang sejumlah Rp 794,5 Triliun (US$1 = Rp14.500), terdapat penurunan sejumlah
Rp190,2 Triliun atau sebesar 23,9 persen.
Sementara itu, beban/biaya penjualan yang mempengaruhi besar dan kecil laba
kotor perusahaan pada Tahun 2020 dikeluarkan sejumlah Rp502,98 Triliun.
Sedangkan sejumlah Rp676,2 Triliun telah dikeluarkan pada Tahun 2019 atau
lebih besar dibandingkan dengan jumlah beban/biaya Tahun 2020. Berarti,
terdapat penurunan beban/biaya dengan selisihnya sejumlah Rp173,22 Triliun
atau sebesar 25,6 persen.
Laba kotor diperoleh perusahaan masing-masing, yaitu pada Tahun 2020 Rp101,32
Triliun dan Tahun 2019 sejumlah Rp118,3 Triliun, berkurang sejumlah Rp16,98
Triliun atau sebesar 14,35 persen.
Lalu, bagaimana halnya dengan laba bersih yang dihasilkan sejumlah Rp15,3
Triliun oleh BUMN Pertamina, pos-pos beban/biaya apa saja yang berkontribusi?
Dengan penjualan/pendapatan yang menurun dari Tahun 2019 ke 2020 sebesar 23,9
persen itu, maka tingkat efisiensi yang dihasilkan oleh jajaran SDM Pertamina
itu sebesar 25,6 persen atau lebih tinggi dari penurunan penjualan/pendapatan
dengan selisih 1,7 persen.
“Artinya, tingkat efisiensi yang lebih tinggi memungkinkan perusahaan mencapai
efektifitas kinerja dalam menghasilkan laba kotor dibandingkan apabila tidak
melakukan kebijakan tersebut,” ungkapnya.
Begitu juga halnya dengan laba bersih yang diperoleh sejumlah Rp15,3 Triliun
pada Tahun 2020, lebih rendah dibandingkan yang diperoleh Tahun 2019 sejumlah
Rp35,8 Triliun atau menurun sejumlah Rp20,5 Triliun atau sebesar 57,2 persen
(hampir 60%).
Lanjut Defiyan, jumlah pendapatan laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi
dan amortisasi (EBITDA) yang sejumlah Rp86,02 T pada Tahun 2020 lebih tinggi
dibanding Tahun 2019 yang sejumlah Rp82,5 Triliun atau sebesar 4,27 persen.
“Apresiasi patut diberikan kepada para karyawan PT. Pertamina yang telah
berkorban demi kinerja positif perusahaan negara ini melalui pengurangan pos
gaji, upah dan tunjangan lainnya,” imbuhnya.
Defiyan mengungkapkan, mengacu pada pos pengeluaran gaji, upah dan tunjangan
karyawan ini, maka memang beban/biayanya turun dari sejumlah US$361.026.000
atau setara Rp5,26 Triliun pada Tahun 2019 menjadi US$281.819.000 sekira Rp4,1
Triliun pada Tahun 2020 atau turun sejumlah US$79.207.000, setara Rp1,15
Triliun atau sebesar 28 persen.
“Dengan kas secara umum yang pada Tahun buku 2020 dimiliki oleh BUMN Pertamina
sejumlah Rp144,8 Triliun sesuai yang tercantum dalam laporan keuangan
konsolidasi, berapakah pengorbanan jajaran Direksi dan Komisaris Pertamina
atas capaian laba tersebut?,” tanya Defiyan mengakhiri. (rhm)