Cacat Konstitusional, UU PPSK yang Disahkan secara Kilat

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang ditandatangani pemerintah dan Komisi XI DPR cacat Konstitusional.

9 Desember 2022, 08:48 WIB


Jakarta – Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang ditandatangani pemerintah dan Komisi XI DPR pada hari Kamis tanggal 8 Desember 2022 secara secepat kilat adalah bermasalah, cacat formil dan materil!

Hal itu disampaikan Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menanggapi pengesahan UU KUHP yang menuai kontroversi.

Defiyan Cori menjelaskan,Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini belum memiliki Undang-Undang Sistem Perekonomian Nasional sebagai rujukan bersama (common denominator) berdasarkan perintah konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 untuk mengatur perekonomian bangsa dan negara secara integratif.

“UU ini mendesak dipenuhi supaya secara sistemik mampu mengatasi polemik kebangsaan atas politisasi sistem ekonomi kapitalisme dan komunisme yang dianggap tidak sepaham dengan ideologi negara Pancasila,” tuturnya dalam keterangan tertulis Jumat (9/12/2202).

Akibat dari ketiadaan UU sistemik ini, maka banyak UU sektoral, seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001, UU No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) justru memberikan keleluasaan pada korporasi swasta atas penguasaan Sumber Daya Alam (SDA), bukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai representasi kuasa negara.

Lanjutnya, termasuk pula disektor moneter dan keuangan, kesepakatan Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang ditandatangani oleh pemerintah dan Komisi XI DPR pada hari Kamis tanggal 8 Desember 2022 secara secepat kilat adalah bermasalah, cacat formil dan materil!

Dijelaskan, cacat formil penyusunannya yang prinsip, yaitu terkait 3 (tiga) aspek, partisipasi, transparansi dan waktu pembahasan sebuah RUU.

“Dari aspek partisipasi,  proses pembahasan RUU ini  bukan hanya tidak melibatkan masyarakat yang berkenpentingan secara berarti atau penuh (meaningful participation),” sambung alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Bahkan, lembaga negara yang terkait, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan lainnya sebagai pelaksana justru tidak didengar penjelasannya sama sekali!

Rapat pertama kali pada tanggal 10 November 2022 yang membahas RUU ini dihadiri langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, serta perwakilan Kementerian Investasi dan Kementerian Hukum HAM dengan Komisi XI DPR membentuk tim panitia kerja (Panja).

Kata Defiyan Cori, rapat inipun dilaksanakan secara tertutup, sehingga publikpun tidak mengetahui bagaimana jalannya proses pembahasan RUU PPSK

Dari aspek transparansi,  pemerintah dan Komisi XI DPR juga menolak memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada khalayak, yang dipublikasikan lewat laman resmi DPR RI hanya draft tertanggal 22 September 2022 saja.

Hal ini membuat publik tidak mengetahui secara detil soal perkembangan naskah RUU PPSK tersebut. Sri Mulyani sebagai koordinator pihak pemerintahpun hanya memberikan kisi-kisi dari RUU PPSK yang terdiri dari 24 Bab, 653 Pasal, dan 2.007 Ayat.

Malah, dengan materi sebanyak ini, pemerintah mengelak menyampaikan perubahan apa saja yang telah dilakukan atas RUU terkait redaksional, substansial, dan penambahan substansi, serta usul penghapusan yang terdapat dalam DIM terkait 5 (lima) kategori krusial.

Padahal, banyak pasal dan ayat RUU itu yang akan memasukkan Indonesia dalam lubang jebakan (hole trap) terkait pengaturan bank emas.

Pengatura bank emas yang melakukan transaksi pembelian dan penjualan logam mulia, termasuk ekspor impor hingga proses penyimpanannya atau bullion bank di bawah pengawasan OJK.

Kemudian, posisi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang banyak ditentang publik, serta penerimaan devisa hasil ekspor oleh LPEI.

“Sangat aneh dan janggal, RUU PPSK yang disepakati oleh pemerintah dan DPR itu pembahasannya hanya berlangsung kurang dari satu bulan saja, dan publik tidak tahu menahu sama sekali alias dibuat buta,” tandasnya Defiyan Cori.

Selain itu, jalur kritis (critical path) lainnya dalam RUU tersebut, yaitu apabila terjadi kebuntuan, maka Menteri Keuangan bisa memutuskan sendiri. Kemenkeu juga berpotensi “mendesain” krisis ekonomi dan moneter dengan kewenangan amat besar dalam penentuan sebuah bank berdampak sistemik atau tidak.

Termasuk, adanya upaya penghapusan pasal 47 huruf c dalam substansi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI), yaitu adanya larangan Anggota Dewan Gubernur alias Deputi BI untuk menjadi pengurus atau anggota partai politik.

Jika materi akomodasi kepentingan kewenangan Menkeu dan penghapusan pasal 47 huruf c disepakati, kata Defiyan Cori, maka jelas telah terjadi kongkalikong antara kedua belah pihak.

Tidak mungkin sebuah UU yang diharapkan akan membuat masyarakat Indonesia percaya kepada sektor keuangan dengan memberikan regulasi yang kuat untuk penguatan perlindungan kepada konsumen, tetapi tidak transparan dan melibatkan seluas-luasnya partisipasi publik!

Dari aspek waktu, kalaupun ada pembahasan atas RUU hanya berlangsung selama rentang waktu 22 September 2022-10 Nopember 2022 atau  hanya 19 hari saja!

Karenanya, pihaknya meminta dengan hormat kepada Presiden Republik Indonesia supaya tidak melakukan tindakan *inkonstitusional* menunda pengesahan UU PPSK yang tidak memenuhi prinsip-prinsip proses penyusunan RUU sesuai konstitusi atau cacat konstitusional. 

Atas dasar itu, maka proses penyusunannya harus diulang kembali agar memenuhi proses formil dan materiil sebuah peraturan perUndang-Undangan yang layak dan berkualitas. ***

Berita Lainnya

Terkini