Cacing ‘Cerdas’ UGM: Solusi Inovatif Kelola Sampah Organik Rumah Tangga

Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) UGM mengenalkan terobosan memadukan biologi dan teknologi canggih "Wormibox".

10 Oktober 2025, 16:49 WIB

Yogyakarta – Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) Universitas Gadjah Mada (UGM) memperkenalkan sebuah terobosan yang menggabungkan biologi dan teknologi canggih bernama “Wormibox”.

Inovasi ini adalah alat budidaya cacing tanah berbasis Internet of Things (IoT), yang secara efektif mampu mengubah limbah organik rumah tangga menjadi pupuk alami yang bernilai ekonomi, sekaligus mendukung gerakan Zero Waste.

Inovasi ini dipaparkan tim lintas fakultas tersebut dalam bincang-bincang yang diselenggarakan oleh Kantor Humas UGM pada Kamis (10/10/2025), yang menyoroti potensi besar dari inovasi ini sebagai solusi nyata bagi krisis sampah.

Ketua tim, Azkal Anas Ilmawan dari Fakultas Teknik (2022), menjelaskan Wormibox lahir dari kepedulian mendalam terhadap krisis sampah yang semakin memuncak di Yogyakarta, terutama oleh anggota tim yang merupakan warga asli.

“Ide kami ini berawal dari permasalahan sampah di Jogja sendiri… pengelolaan sampah di sini sudah terbatas,” ujar Azkal.

Melihat fakta, sampah organik rumah tangga terus meningkat dan belum termanfaatkan maksimal—sementara budidaya cacing masih dilakukan secara konvensional—Tim UGM melihat adanya potensi besar.

Cacing, menurut Azkal, menjadi alternatif pengelolaan limbah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Alih-alih metode tradisional, Wormibox mengintegrasikan teknologi cerdas. Fikriansyah Ridwan, anggota tim dari Fakultas Teknik (2023), menjelaskan, Wormibox dilengkapi dengan mikrokontroler yang berfungsi sebagai sistem kontrol dan monitoring.

Perangkat ini secara otomatis dapat memantau dan mengatur suhu serta kelembapan media budidaya.

“Fungsinya agar cacing bisa dengan optimal memakan sampah organik serta dapat hidup dan berkembang biak dengan baik,” tutur Fikriansyah.

Dengan mekanisme yang sangat mudah, pengguna hanya perlu menyalakan Wormibox.

Jika suhu terlalu panas (misalnya 32 derajat Celcius), kipas akan otomatis menyala, memastikan kondisi optimal bagi cacing. Pengguna juga dapat memantau kondisi cacing secara real-time melalui aplikasi di ponsel atau website berkat integrasi IoT.

Tim UGM memilih jenis cacing African Nightcrawler (ANC) yang dikenal sebagai jenis cacing remaja yang lebih konsumtif dalam memakan limbah, menjadikannya pilihan ideal ketimbang maggot yang sudah lebih umum digunakan.

Maulana Iqbal Pambudi dari Fakultas Peternakan (2023) menjelaskan, hasil dekomposisi oleh cacing ini menghasilkan dua produk lanjutan yang bernilai tinggi: Pupuk Organik Cair (POC) dan Vermicompost (casting).

“Casting yang kami hasilkan strukturnya lebih remah dan subur. Jadi konsumen bukan hanya mendekomposisi sampah rumah tangga, tapi juga mendapat produk bermanfaat bagi tanaman mereka,” tegas Iqbal.

Setiap paket Wormibox bahkan telah dikalibrasi dengan takaran khusus, berisi cacing dan media bedding yang diformulasikan dari tanah dan ampas sagu, memastikan pengguna tidak perlu repot dalam penyiapan awal.

Dalam aspek bisnis dan pemasaran, Vidhyazputri Belva Aqila dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (2023) menyebut timnya telah menjalin kemitraan dengan peternak cacing.

Ke depan, tim juga berencana membantu pelanggan dalam mendistribusikan hasil olahan cacing (POC dan Vermicompost) yang dapat dijual kembali, menambah nilai ekonomi bagi rumah tangga.

Dengan integrasi teknologi dan pendekatan ekologis, Tim PKM-K UGM berharap Wormibox dapat menjadi langkah nyata dan inspiratif bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk mengambil peran aktif dalam mengelola limbah rumah tangga.

Inovasi “cacing cerdas” ini bukan hanya solusi teknis, tetapi juga sebuah dorongan kuat menuju pengelolaan limbah organik yang lebih berkelanjutan dan berdampak luas bagi lingkungan di Indonesia. ***

Berita Lainnya

Terkini