Catatan Arya Lawa Manuaba: Empat Bekal Mahasiswa di Era Desruptif

25 Oktober 2021, 22:24 WIB

AVvXsEgBoRg2g8UdrStGAcrH05YHYnT0Mi3bpPUd0UA4
IB Arya Lawa Manuaba /Dok. Kabarnusa

Oleh
Arya Lawa Manuaba 

Gejolak yang terjadi di sekitar kita menimbulkan
sebuah efek yang disebut dengan disruption,
atau kehancuran. Ketika Anda naik dari SMA ke perguruan tinggi, Anda
mengalami kehancuran. Anda yang agak malas mungkin akan syok melihat modul
kuliah setebal sepuluh komik Naruto. Kemudian, Anda harus mengatur jadwal
dengan lebih baik, mencuci kaos kaki sendiri, dan bahkan mulai belajar masak
sendiri. 

Anda mengalami sebuah disruption.
Mau tidak mau, Anda harus melakukan semua itu. Anda harus merombak gaya hidup
anak SMA. Respons Anda menghadapi desruption
ini disebut sebagai shifting ‘pergeseran’
oleh para pakar ekonomi dunia. Apabila
pergeseran norma, cara, teknik atau gaya hidup ini terjadi besar-besaran,
itulah revolusi.

Mendengar kata revolusi, sebagian orang
mungkin masih membayangkan runtuhnya Penjara Bastille, James Watt dan mesin
uapnya, pesta teh Boston, atau demam emas California. Semua peristiwa itu
adalah revolusi-revolusi besar yang terjadi di masa lalu, dari jalan manusia yang
biasa menjadi luar biasa, dari cara-cara kadaluwarsa menjadi teknik yang
samasekali baru. Memasuki abad milenial, umat manusia kembali memasuki zona
yang dikenal sebagai revolusi industri keempat.

Apabila revolusi industri pertama ditandai
dengan shifting peradaban manusia
dari agraris ke industri, dari ternak ke mesin, maka revolusi industri tahap
kedua ditandai dengan bidang produksi skala masif dan meningkatnya
konsumerisme. Di tahap ketiga, muncul komputer dan otomatisasi. Di ketiga tahap
revolusi itu, umat manusia belum mampu memecahkan satu masalah fundamental:
efisiensi jarak dan waktu. Jarak masih menjadi kendala, dan orang-orang masih
tergantung pada jam buka dan jam tutup.  

Mengapa perubahan di era milenial ini
dinobatkan menjadi revolusi industri keempat adalah karena manusia telah
berhasil menghapus kendala jarak dan waktu. Semua itu bisa terjadi berkat satu
keajaiban teknologi: internet. Kini, orang bisa belanja kebutuhan hidupnya dari
mana saja dan kapan saja. Gojek, GoFood dan GoSend, misalnya, selalu siap 24/7
mengantar apa pun yang Anda pesan di mana pun Anda berada. Anda bisa memesan
tas traveler di Tokopedia jam 1 malam
saat semua orang terlelap, dan Anda pun bisa mengirim file ke WhatsApp rekan
kerja Anda di Amerika meskipun saat itu dia sedang mendengkur.

Lalu, apa efek pergeseran besar-besaran ini?
Efeknya mengikuti hukum percepatan. Semakin kecil gesekan, maka semakin cepat suatu
benda bergerak. Semakin tak berarti jarak dan waktu, semakin cepat informasi
bergerak. Barangsiapa tak mengikuti informasi, dia tertinggal. Mahasiswa yang
tak rajin membaca dan mengasah diri, dia ketinggalan zaman. Dosen yang berhenti
belajar, maka tamat pula riwayatnya.

Saya ingat siaran pers menteri riset,
teknologi dan pendidikan tinggi beberapa waktu lalu. Mohamad Nasir, san
menteri, kala itu tengah berbincang dalam sebuah kuliah umum di Universitas
Mataram, NTB. Beliau menyinggung revolusi industri 4.0,—sebuah nama keren dan
saintifik untuk era desruptif milenial ini. Menurutnya, mahasiswa adalah
pemeran utama dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Di tangan mahasiswa, yang
adalah figur-figur ujung tombak generasi muda Indonesia yang berpendidikan,
nasib bangsa di tengah gelombang tsunami informasi global dipertaruhkan.

Di era revolusi industri 4.0, di mana jarak
dan waktu tak lagi jadi hambatan, setiap orang bisa bebas melakukan apa saja
dalam jaringan. Suatu bangsa bisa menggempur bangsa lainnya dalam terjangan nuklir
dunia maya. Penjajahan dan imperialisme kapitalis mulai menjalar dengan
kecepatan yang luar biasa. Tidak ada lagi sekat antara satu negara dengan
negara lain. 

Tenaga pendidik dari luar negeri berduyun-duyun masuk, menjajah
bangsa dengan kapitalisme pendidikan. Apabila seabad lalu Belanda perlu waktu
350 tahun untuk menguasai seluruh Indonesia, maka hari ini setiap negara bisa
menguasai negara lain hanya dalam beberapa detik saja. Barangsiapa tak melek
informasi, tak rajin membaca, tak rajin menempa diri, maka dia jadi tumbal
datangnya zaman baru.

Jika mahasiswa masa kini berpikir bahwa
kuliah adalah kehidupan kampus-rumah-kampus, maka dia pasti mampus. Apabila
dosen masa kini masih berpikir mengajar hanya di dalam kelas dan menimba ilmu
hanya dari buku, maka dia binasa. Di zaman ini, bahkan ruang kelas pun bisa
muat dalam ponsel pintar Anda. Seluruh koleksi perpustakaan nasional bisa muat
di memori 32 GB di genggaman Anda. Seluruh database
American Museum of Natural History
bisa Anda akses dari laptop Anda di
sebuah gubuk terpencil yang sunyi di lereng Gunung Batur.

Karena itu, apabila mahasiswa masih berpikir
kuliah hanya untuk mendapatkan gelar akademik, maka sebaiknya dia kembali ke
dua puluh tahun lalu. Saat ini, menjadi lulusan cumlaude sama mudahnya dengan mengupas nanas. Di zaman ini, hanya
sekadar meraih gelar akademik dengan IPK tinggi tidak menjamin kesuksesan
seseorang. Perusahaan-perusahaan besar tidak lagi menerapkan standar IPK
kumulatif untuk merekrut tenaga kerja. Selain kecerdasan intelegensi,
kecerdasan sosial, emosional dan spiritual juga jadi pertimbangan yang jauh
lebih penting.

Menyadari ‘gelombang dahsyat’ peradaban ini,
mari simak lagi apa yang dinyatakan Pak menteri. Beliau berpesan, mahasiswa
milenial seharusnya dibekali tidak hanya dengan gelar akademik. Untuk bertahan
di riak gelombang zaman, mahasiswa harus memiliki empat bekal, yakni kompetensi
interaksi dengan berbagai latar budaya, keterampilan sosial, literasi baru
(data, teknologi dan manusia), serta pembelajaran sepanjang hayat.

Interaksi dengan berbagai latar budaya
berarti bahwa mahasiswa dituntut menjadi multitalenta. Satu hal yang mesti
dicatat baik-baik oleh mahasiswa adalah ‘kamu tak akan muda dua kali, jadi
buatlah sebuah kegagalan besar dan belajarlah dari sana.’ Mahasiswa tidak boleh
berpikir bahwa kuliah hanyalah kehidupan cuap-cuap kampus-rumah-kampus atau
kampus-kos-kampus. 

Lewat bimbingan dosen, mahasiswa harus berpikir bahwa setiap
jengkal Bumi ini adalah tempat belajar, dan setiap detik adalah waktu belajar.
Belajar di era milenial ini bukan tentang meringkuk di dalam kamar dan
menghapal sampai pagi. Belajar di era baru ini adalah mengenal apa yang Anda
senangi dan belajar bagaimana Anda
mengejar mimpi besar Anda.

Keterampilan sosial kurang lebih berarti Anda
belajar memperlakukan orang lain sebagaimana orang itu ingin diperlakukan.
Orang Muslim tidak makan babi, sehingga Anda seharusnya tak pernah pamer babi
guling di hadapan seorang Muslim. Ada orang Hindu yang vegetarian, dan Anda harus
maklum jika dia tak pernah berkomentar tentang rasa sup ayam hasil praktikum
Anda. Semua itu tidak bisa Anda pelajari dari buku. Semua itu harus Anda hadapi
secara langsung. Dengan keterampilan sosial yang baik, radikalisme dan
‘nyinyir-nyinyir’ bisa dihindari.

Literasi juga jadi aset berharga buat
mahasiswa. Literasi bagaikan mata yang membuat Anda melihat lebih jelas. Literasi
data berarti Anda memiliki kemampuan menganalisis dan menyaring informasi. Anda
tidak akan segera percaya bahwa Premium naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 9.000
dalam satu malam. Jika kerusuhan antaretnis terjadi, Anda tidak serta merta
main kutuk pemerintah tanpa tahu masalah. 

Kemudian, Anda mesti melek teknologi,
menguasai literasi teknologi. Cukup memalukan jika di zaman ini Anda tidak bisa
mengirim email atau mengisi formulir pendaftaran daring untuk melamar kerja.
Jika di zaman ini mahasiswa sampai tidak tahu cara menyalakan sebuah laptop dan
masih membuat slide PowerPoint
bagaikan lembaran koran Kompas, maka mungkin Pak menteri ristekdikti harus
membeli obat penenang agar beliau bisa tidur nyenyak.

Bekal terakhir buat mahasiswa adalah tekad
belajar sepanjang hayat. Darwin, sang guru besar evolusi menulis dalam bukunya:
spesies yang bertahan bukanlah spesies
paling kuat, namun spesies yang paling mampu beradaptasi.
Artinya, apabila
perubahan terjadi terus-menerus di hadapan Anda, mengapa Anda harus bertahan
pada cara-cara lama? Pelajarilah cara baru dan nikmatilah semua proses itu.
Mahasiswa harus berani adu isi kepala, mencoba segala kesempatan, gagal,
menangis, coba lagi, belajar lagi lalu berhasil.

Kehidupan seorang mahasiswa seharusnya
bagaikan burung angsa Siberia yang selalu nikmat menghadapi tantangan.
Angsa-angsa ini melewati daerah konflik di Gaza, kota yang panas membara di
Yerusalem, terbang di atas puing-puing Suriah, lalu berlabuh di sungai-sungai
utara tatkala musim semi tiba. Berbekal empat kompetensi milenial itu, Anda
akan jadi mahasiswa sejati. Di sana, barulah Anda kelak punya cerita dahsyat
buat anak-cucu. (*)

 

IB Arya Lawa Manuaba, penulis, dosen dan pegiat literasi yang tinggal di Badung, Bali

Referensi:

Anonim (2019). Pendidikan Tinggi Perlu Kembangkan Kurikulum di Era Revolusi Industri
4.0
dalam https://belmawa.ristekdikti.go.id/2019/08/10/pendidikan-tinggi-perlu-kembangkan-kurikulum-di-era-revolusi-industri-4-0/,
diakses pada 30 Agustus 2019 (22:05 GMT+8).

Gorda, Anak Agung Ngurah
Supriyadinata (2019). Easy And Wonderful
Spiritual Life.
Badung: Nilacakra.

 Hougland, Benson (2014). “What is the Internet
of Things? And why should you care?”, dapat ditonton di https://youtu.be/_AlcRoqS65E. Produser:
TedX Temecula.

Kazali, Rhenald (2018). The Great Shifting. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

 Liriwati, Fahrina Yustiasari et.al
(2019). “Peran Perguruan Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0” dalam Prosiding
Seminar Nasional PPS Universitas PGRI Palembang, 12 Januari 2019, p.280-288.

Marr, Bernard (2018). “What is
Industry 4.0? Here’s A Super Easy Explanation for Anyone”, https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2018/09/02/what-is-industry-4-0-heres-a-super-easy-explanation-for-anyone/#666201d99788,
diakses pada 31 Agustus 2019 (01:12 GMT+8).

Siaran Pers Kemenristekdikti nomor
77/SP/HM/BKKP/IV/2019. https://ristekdikti.go.id/kabar/menristekdikti-mahasiswa-pemeran-utama-menghadapi-era-revolusi-industri-4-0/,
diakses pada 30 Agustus 2019 (21:35 GMT+8).

Suwardana, Hendra (2017). “Revolusi
Industri 4.0 Berbasis Revolusi Mental” dalam Jurnal Ilmiah Teknik dan Manajemen
Industri, Fakultas Teknik Universitas Kadiri, Vol. 1 No. 2, p.102-110.

Artikel Lainnya

Terkini