Partai miskin bisa membuat bangsa semakin miskin, atau partai merasa miskin tak ada lagi idealisme di awal pendiriannya yang seolah masih berjuang untuk orang miskin?
Fenomena tahun politik menjelang pemilu ada partai besar yang dibesarkan oleh suara orang miskin di awal bulan Juni 2023 ini kembali ingin memberi mimpi menghapus kemiskinan?
Menikmati kondisi yang ironis bangsa saat ini. Setelah menawarkan wajah dari sosok yang miskin dan berlangsung tahunan ini. Wajah bangsa dari yang kini berhutang di angka 7800 ( klik google hutang pemerintah tahun 2023) dan angka orang miskin ukuran Bank Dunia di angka 110 juta (Abdul Kohar, Media Indonesia 13 Mei 2023, h.2).Kini, ada partai menawarkan kembali kepedulian tentang kemiskinan sebagai jualan yang kembali ditawarkan. Tahun politik terasa tahun kamuflase menjual mimpi yang terus menerus diimpikan mereka.
Baiknya di negeri ini ada partai yang lambangnya kumpulan manusia yang kurus kering dan manusia berdiri di pinggir jalan meminta untuk sesuap nasi bukan lambang yang lain dan itu harga mati.
Kemiskinan menjiwai politik. Ketika partai politik yang berdiri dan besar ada yang menyebut diri mereka rumah wong cilik dari cita hanya menjadi jargon atau slogan. Ini cukup menghipnotis kesetiaan orang miskin puluhan tahun dan masih juga nasib mereka dalam puluhan juta dan bahkan masih bagian jargon dan masih berharap suara orang miskin untuk memilih mereka.
Jiwa politik yang menjadi prinsip ada di partai ingin mengeruk dukungan di tengah rakyat yang cepat pelupa maka jualan kemiskinan tetap laku. Kemiskinan telah mendera jiwa manusia partai yang melihat rakyat dengan ukuran amplop setiap pemilu dan sudah merasa menjadi gerakan memerdekakan rakyat.
Bangsa yang tak beruntung hanya ada jargon dan slogan berupa merdeka padahal merdeka sudah hampir satu abad masih saja ada pekikan kemerdekaan. Merdeka pekikan itu mungkin maksud awal dari penciptanya merdeka, merdeka, merdeka dari kemiskinan karena bangsa ini hanya tinggal mengisinya.
Kemiskinan telah menjadi gagasan Karel Marx dulu untuk pembebasan manusia. Dari dulu berbicara buruh tak ada yang kaya raya mereka hidup miskin atau menghampiri kemiskinan. Bila ada anggota partai yang mencitakan hal itu maka itulah cita Karel Marx, citarasa Karel Marx bukanlah manusia memiskin manusia dari spiritualitas atau bahkan anti Tuhan.
Semangat itu yang telah membawa konplik mereka yang disebut kapitalis dan sosialis yang dicatat dalam sejarah dunia dan korban manusia dalam jumlah jutaan. Semangat yang memunculkan konflik dari kaum sosialistik itu. Di era kini bukan semangat mengangkat senjata tapi semangat untuk memerangi kemiskinan itu sendiri. Untuk soal ini mereka bisa menggunakan istilah jihad yang bermakna sungguh-sungguh mengatasi kemiskinan suatu bangsa.
Bila peristiwa masa lalu dapat diambil pelajaran suatu bangsa lalu ada partai yang mengambil semangat itu, apapun dasarnya apakah itu dasar kemanusiaan yang mendasarinya tak cukup hanya slogan atau mimpi, itu artinya pengkhianatan terhadap kemanusiaan yang harus dihindari oleh partai yang diisi oleh manusia yang mengaku modern saat ini.
Partai yang kini diisi oleh manusia berjuis yang fungsionaris ya bergelimang kemewahan rumah besar dan mewah uang di bank yang dilihat wong cilik sangat menyilaukans dan sulit untuk melihat mereka yang berjasa membesarkan partainya yang kini hanya jargon dan baru diingat ketika pemilu di depan mata. Mereka nasibnya memang hanya menjadi pelengkap penderita hanya kesadaran bekecerdasan yang menolong dirinya untuk tak menjadi manusia yang dieksploitasi selamanya.
Dasar kemanusiaan memang ringkih atau rapuh karena manusia cenderung cinta pada dirinya lebih besar daripada ke manusia lainnya, apalagi bila manusia terus merasa lapar tak ada rasa kemanusian yang ada dibenak dan fikirannya. Inilah yang mungkin terus berlangsung di suatu bangsa cita kemanusiaan berupa slogan kemiskinan hanya slogan belaka.
Jualan kemiskinan akan terus terulang dan kemiskinan nanti menjadi lingkaran setan mustahil di atasi di tengah bangsa yang hutangnya kini mendekati angka 8000 trilyun dan manusia miskin yang jumlahnya di angka 110 juta, jualan pemilu yang masih terus digaungkan?
Hasbi Indra, Akademisi di UIKA Bogor