Catatan Hasbi Indra: Pemimpin Patriotik di Era Robotik

Dalam kenyataan yang dirasakan kepemimpinan patriotik di era rrobotik perlu didiskusikan sehingga menjadi hazanah keilmuan.

8 Juni 2023, 04:33 WIB

Dalam hazanah ilmu kepemimpinan tak ditemukan kepemimpinan di dua istilah itu tapi ia ada dalam kenyataan yang dirasakan yang perlu didiskusikan sehingga menjadi hazanah keilmuan atau menjadi teori ilmu kepemimpinan minimal di Tanah Air.

Pemimpin patriotik yang diharap oleh suatu bangsa yang sejak awal kemerdekaannya. Pada masa itu pemimpin bangsa telah merasakan suasana ketakadilan, ketaksetaraan dan ketakmuran, hal itu telah mereka rumuskan dalam cita konstitusi yaitu di UUD 1945, apakah ini suatu hal yang berlebihan tentu saja tidak.

Pemimpin itu dalam bayangan perumus konstitusi adalah pemimpin rakyat yang citarasanya hanya dipengaruhi oleh cita konstitusi dan itu harga mati baginya atau hal itu tak bisa ditawar dengan apapun baik tahta maupun harta.

Pemimpin yang melihat tahta sebagai amanah. Bila kepemimpinannya tak bisa merubah kondisi yang dirasakan oleh rakyat sebelumnya, malu dirinya bertahan di tahta itu, apalagi jauh dari citarasa untuk meminta bonus berlama di tahtanya. Bila ada rasa malu itu tanda sang pemimpin masih memiliki patriotistik ke bangsanya.

Pemimpin bangsa bisa terjadi bak robot, di mana manusia lain telah siap membuat dirinya seperti itu karena disadari dengan cara itu ia bisa menjadi pemimpin puncak. Apalagi di saat rakyat masih memilih pemimpin bercitarasa money politiks, pemberian sembako dan serangan fajar, dan rakyat masih bercitarasa pragmatis dalam memilih pemimpinnya.

Atau rakyat masih terpukau dengan wajah yang lugu seperti merakyat tapi hanya sekedar simbolik dan rakyat terhipnotis akan hal itu. Tahunan hal itu dilakukan melakukan kerja polesan seperti terus merakyat dengan membagi sesuatu melalui mobilnya. Sementara kondisi bangsa tak mengalami perubahan yang diharapkan rakyat seperti yang dijanjikannya.

Janji-janjinya telah membuahkan bangsa yang kini hutangnya di angka 8000 di tahun 2023 yang di tahun 2014 hanya di angka 2600 trilyun (klik google, hutang pemerintah 2014/2023) atau angkanya versi anggota DPR sudah berada di 20 000 trilyun.

Angka kemiskinan dan pengangguran yang angkanya puluhan juta dan bahkan versi Bank dunia 110 juta (Abdul Kohar, Media Indonesia 13 Mei 2023, h.2). Kini dirasakan oleh rakyat ada pula tuna morals, tuna korups yang angkanya ada di 16 trilyun, 24 trilyun dan ada pula yang di angka 349 trilyun akan dicatat hal itu sudah menjadi budaya, selain tuna kondtitusi, tuna ekonomi, tuna politik dan tuna demokrasi.

Cara itu sepertinya akan diulang kembali yang menggambarkan sang pemimpin seperti robotik di era robot.

Robot pekerja tanpa akal dan hati serta robotik yakni pekerjaan yang didesain untuk dilaksanakan bak mesin penghancur bukan pembangun.

Menggambarkan hal itu seperti manusia dalam menjalani kehidupannya bak robot Tuhan yang harus dipahami dan diterima dalam suatu istilah fatalisme atau di era klasik ulama menyebutnya kaum jabariyyah. Paham bahwa manusia robot Tuhan saja dalam menjalani kehidupannya.

Tapi robot di era robotik ini ada di kehendak mereka yang berharta membentuk citarasa yang di tahta. Ini yang mungkin sedang terjadi dalam perjalanan suatu bangsa. Bila hal itu terjadi akan memperkaya hazanah keilmuan dan layak menjadi teori di keilmuan kepemimpinan dalam bidang ilmu kenegaraan untuk diwaspadai dan dihindari.

Manusia bisa membentuk robot di suatu bangsa dengan kemampuan keilmuan dan kekuatan uangnya. Misalnya suatu bangsa untuk menjadi bangsa yang maju telah memiliki syaratnya yakni memiliki SDA yang kayaraya dan juga SDM yang lengkap apa pun tersedia telah banyak intelektual untuk semua bidang keilmuan dan kaum profesionalnya, namun dalam perjalanannya hasilnya tak sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Suatu bangsa menghadapi kenyataan menjadi bangsa penghutang, dari masa pemerintahan ke pemerintahan lain, hutang terus meningkat. Begitu pula populasi orang miskinnya semakin bertambah dari jumlah jutaan menjadi puluhan dan bahkan mungkin ratusan juta. Fenomena hasil dari faham fatalisme yang bagi mereka bisa dimaklumi.

Fatalisme dibentuk melalui kerja kebudayaan melalui dunia politik, hukum, ekonomi dan pendidikan serta agama.

Dunia politik seperti demokrasi yang kegiatannya melalui pemilu bagi yang menyukai paham fatalisme akan mengupayakan terpilihnya sosok manusia pemimpin yang dibentuk untuk menjalani fatalisme.

Sosok yang potensials untuk hal itu yaitu manusia yang lemah akal tak memilih etos ilmu dan literasi rendah dan daya baca rendah. Tulisan akademik yang mengerutkan kening akan ia hindari. Selain itu lemah moralsnya yang indikasinya ada perbuatan korups.

Kaum berideologi fatalisme untuk menundukkan suatu bangsa agar SDA dan asset ekonomi tetap mereka kuasai tipe pemimpin yang lemah itu yang bisa mereka jadikan robot.

Untuk hal itu mereka akan menghadapi kaum intelektual, kaum agamis dan rakyat awam kebanyakan. Bagi kaum intelektual mereka upayakan jargon pembangunan yang berkelanjutan dan untuk citarasa pemilihnya untuk sosok itu mereka masih tetap menggunakan angka survey tinggi dan dinyatakan pula yang bersangkutan memiliki tingkat intelektual tinggi, melalui surveyor berbayar.

Untuk kaum beragama disamping ada angka survey tentang keberadaan sosok yang mereka katagorikan sangat taat beragama dibanding sosok lain, mengunjungi ulama atau kyai dan sesekali pakai kopiah dan baju Koko seperti pakaian santri.

Untuk rakyat awam mereka ekploitasi psikologisnya melalui alat digital seperti makan dan minum di wartek pinggir jalan, atau sesekali ke gorong-gorong, lari pagi atau lari meraton, itulah kemampuan yang dimiliki.

Kekuatan media massa dan media visual jadi gambar berupa sosok yang hadir dengan angka yang tinggi itu yang langsung bisa ditangkap oleh mata.

Untuk itu jangan lupa kaum pembuat fatalisme akan terus menerus mengulang-ulang penayangannya sepanjang tahun, hal itu yang akan menjadi pembenaran bahwa itulah sosok yang dibutuhkan sesungguhnya untuk merubah wajah bangsa dan nasib rakyat.

Kaum fatalisme memang berasal dari manusia robot yang berakal tapi tak berhati. Mereka robot hawanafsu yang bisa dilatari oleh dewa harta padahal hartanya sudah tak terkira yang jumlahnya sudah trilyunan, sementara ratusan juta rakyat hanya jutaan atau ratusan ribu perbulannya. Atau ada pula dewa ideologi tertentu, ideologi memiskinkan suatu bangsa atas dasar keyakinan yang dianggapnya suci.

Kaum robot potensials akan mencipta robot di media massa, di lembaga survey dan buzzer berbayar yang juga potensials akan mencipta robot di istana dan parlemen, di MK, KPK dan panitia pemilu dan bisa juga di partai dan ormas.

Fatam fatalisme dengan dukungan keuangan didukung oleh faksi keilmuan, ada faksi angka dan faksi memutarbalikkan fakta akan terus mencetak pemimpin robotik di istana dan parlemen dan lainnya itu.

Mereka menjalani hidup fatalisme dan terus menggores bangsa itu berada di kolam fatalisme yang menggambarkan manusia di bangsa itu hidup tapi tak hidup dan menghasilkan bangsa yang tak eksis di tengah bangsa yang lain. Nasib anak bangsa kembali ke jiwa manusia Nusantara seabad yang lalu.

Dunia fatalisme dalam prespektif teologis adalah kaum jabariyah dan ada pilihan lain yakni pengikhtiyar yang bisa memilih paham keseimbangan yakni qodariaisme dari manusia yang berakal dan berhati melakukan ikhtiyar yang optimal dengan segenap potensi yang diberikan Tuhan padanya.

Rakyat, baik dan layaknya memilih pemimpin patriotik untuk bangsa dan atau pemimpin mendekati karakter ala nabi yang fathonah, amanah dan tabligh sehingga nabi pada masanya dan di era klasik pengikutnya bisa mengangkat bangsanya ke alam kehidupan yang berdimensi luas.

Melalui sosok pemimpin itu bangsa tergambar bukan bangsa yang fatalisme lagi yang bisa memanfaatkan potensi yang dimiliki baik potensi alam dan potensi manusianya. Bangsa yang kemudian hutangnya misalnya kini di angka 8000 di tahun 2023 dan dalam waktu lima tahun nanti bisa berada di angka 2600 trilyun angka di tahun 2014 (klik google, hutang pemerintah 2014/2023).

Angka kemiskinan dan pengangguran yang angkanya puluhan juta dan bahkan versi Bank dunia 110 juta akan berkurang di angka yang minimalis.

Bangsa itu telah keluar dari bangsa fatalisme dan telah menunjukkan bahwa pemimpinnya dan anak bangsanya bukan robot dan robotik karena telah muncul pemimpin yang patriotik untuk bangsa dan rakyatnya dari rakyat yang telah cerdas memilih pemimpinnya. Wallahua’lam. (*)

* Akademisi dan pengamat politik, keagamaan di UIKA Bogor

Berita Lainnya

Terkini