Yogyakarta – Kisah pilu Yayuk perempuan paru baya (lansia) berusia 65 tahun yang duduk di kursi roda adalah satu dari puluhan warga yang bertahun-tahun tinggal hanya beberapa meter saja dari rel Kereta Api (KA) di Area Bong Suwung, sisi Barat Stasiun Besar Yogyakarta.
Tinggal di pinggir rel KAI apalagi dengan kondisi lumpuh tentu tidaklah mudah bagi Yayuk melalui hari-hari panjangnya.
Perempuan bersama Sri Rahayu atau disapa Yayuk ini bercerita keluh kesahnya tinggal didekat rel kereta api dengan kondisi mengalami kelumpuhan.
Kelumpuhannya itu terjadi sekitar empat tahun silam setelah menjalani operasi di pergelangan kaki bagian kanan.
Awalnya, sakit tulang keropos. Kulitny melepuh seperti kena air panas kemudian, dibawa ke Rumah Sakit.
“Tetapi yang dioperasi di sini (pergelangan kaki kanan) dan setalah itu saya tidak bisa berjalan,” kata Yayuk Jumat 27 September 2024.
Dengan kondisinya itu, Yayuk tidak bisa lagi beraktivitas normal, yang biasanya ia berdagang dirinya kini hanya mengandalkan bapaknya untuk mencari nafkah.
Sampai-sampai dia terpaksa mengemis di pinggir jalan sekitar tiga bulan, demi bisa mendapatkan sesuap nasi.
Sebelum mengalami kelumpuhan Yayuk memiliki warung nasi rames penghasilannya antara Rp 120 ribu – Rp 150 ribu per hari. Tapi, sejak sakit, warungnya dijual untuk biaya pengobatan dan kebutuhan hidupnya.
“Jadi saya cuma sama bapak mbaa, saya cerai sama suami tahun 2000, anak-anak enggak ada. Bapak juga menderita penyakit asma sehingga tidak bisa bekerja keras,” tambah Yayuk sambil menahan tangis.
Selama beraktivitas, beberapa kali ia terpaksa mengesot untuk bisa sampai ke kampung sebelah, karena sulitnya akses jalan untuk kursi roda di pinggiran rel KA.
“Terkadang, saya dibopong oleh anak-anak atau tetangga di sini sampai ke tempat saya bisa menggunakan kursi roda,” ucapnya lirih.
Dia pernah tinggal lama di Bon Suwung sebelum dipinang oleh pria dan diajak tinggal di Jawas Timur. Pertama kali tinggal di Bong Suwung tahun 1979. Ketika itu, usianya masih sekitar 20 tahun. Kemudian pada tahun 1988, ia menikah dan tinggal di Jawa Timur hingga Tahun 2000.
Sebenarnya, Yayuk memiliki saudara-saudara dari ibu namun juga sudah tidak mengurusi selama bertahun-tahun sehingga dia memilih tinggal di sini bareng bapak.
Baginya, Bong Suwung menjadi tempat ternyaman. Ini karena, menurut Yayuk para tetangganya sudah mengangapnya sebagai sesama saudara. Selain itu, KTP Yayuk sudah tercatat sebagai warga Kota Yogyakarta.
“Selama saya sakit, banyak saudara-saudara di sini yang membantu memberi makan kami,” katanya.
Selain Yayuk, ada satu orang lagi yang merupakan penyintas difabel.
Ditengah-tengah jelang sterilisasi Bong Suwung oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta dalam waktu dekar, Yayuk mengaku resah dengan rencana tersebut.
Namun apalah yang bisa dilakukan selain menerima keputusan tersebut sehingga bisa mendapatkan ‘pesangon’ untuk mencari tempat kontrakan di luar Bong Suwung secepatnya.
“Kami minta perpanjangan tinggal hingga akhir bulan saja tidak bisa,” sesalnya lagi.
Yayuk, mengaku mendapatkan uang kompensasi sekitar Rp 3,3 juta sebagai uang pembongkaran bangunan yang selama ini ia tempati bersama Bapak.
“Uang itu, sebagian akan kami gunakan buat cari kontrakan yang tidak jauh dari Bong Suwung,” ucapnya.
Rencananya, dia bersama Bapak akan mulai berkemas pada hari Minggu (29/9/2024) besok.
Namun setelah mendapat kontrakan, masih berpikir bagaimana mencari uang untuk bisa membayar kontrakan itu per bulannya.
Apabila, dirinya tidak mendapatkan solusi atau pun bantuan dari pemerintah, tidak menutup kemungkinan dirinya akan kembali mengemis di pinggir jalan.
Sebagai sesepuh dilokasi, Ketua Aliansi Bong Suwung, Jati Nugroho menambahkan, saat ini posisi warganya dalam posisi yang sulit. Ini belum termasuk Pekerja Seks (PS) yang mereka sebut ‘mbak-mbak’ dengan jumlah sekitar 80 perempuan, dan pemulung di sisi selatan Bong Suwung yang kurang lebih ada 20 orang.
“Belum lagi anak-anak sini yang sekolah. Mereka juga terdampak. Nanti bagaimana dengan sekolah mereka?” kata Jati.
“Jadi ya memang warga susah karena Bong Suwung harus dikosongkan. Sementara kebanyakan warga kami belum mempunyai tempat tinggal,” sambung pria yang akrab disapa Pak Nug.
PT KAI hanya memberikan kompensasi sebesar Rp 200 ribu per meter persegi untuk pengganti ongkos bongkar bangunan, ditambah Rp 500 ribu per orang untuk biaya angkut barangnya.
“Artinya, Mbak-mbak dan pemulung yang tidak memiliki tempat tinggal di Bong Suwung tidak mendapatkan kompensasi apa pun,” katanya.
Kendati demikian, sebagian warga sudah mulai berkemas karena mereka hanya diberi waktu pengosongan hingga Hari Rabu (2/10/2024) pekan depan.
Warga Bong Suwung Akan Dirikan Tenda di DPRD DIY
Mereka terpaksa pindah, kalaupun tidak mau dieksekusi mereka tidak akan menerima kompensasi dan bangunan tetap dieksekusi.
Kalau enggak menerima kompensasinya dinilai kurang manusiawi
Daripada tidak menerima, setidaknya untuk obat rasa kecewa sehingga kesepakatannya, tawaran tersebut diterima.
Adapun terkait pilihan tempat tinggal selanjutnya, diserahkan kepada masing-masing warga.
“Alternatif terakhir, kami akan mendirikan tenda di DPRD DIY supaya mereka memerhatikan dan memikirkan solusi terbaik untuk kami,” imbuhnya. ***