Yogyakarta – Gelombang usulan pembentukan daerah istimewa dan daerah otorita di berbagai penjuru Indonesia sontak memantik diskusi hangat di tengah masyarakat dan gedung parlemen.
Pertanyaan mendasar pun menyeruak: apakah inisiatif ini murni demi efektivitas pemerintahan dan peningkatan taraf hidup warga, ataukah sekadar panggung ambisius bagi segelintir elite politik yang haus kekuasaan?
Menyuarakan pandangan kritis terhadap isu ini, Dr. Abdul Gaffar Karim, seorang pakar politik dan pemerintahan dari Fisipol UGM, menegaskan bahwa setiap kebijakan pemerintah, termasuk pembentukan entitas daerah baru, idealnya berlandaskan pada tujuan luhur: mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata.
Jika agenda di baliknya menyimpang dari cita-cita mulia ini, maka usulan tersebut selayaknya diabaikan tanpa kompromi.
“Segala langkah yang hendak diambil, muaranya harus jelas: berkontribusi signifikan terhadap percepatan kesejahteraan rakyat atau tidak? Jika jawabannya negatif, maka tidak ada urgensi untuk melanjutkannya,” cetus Gaffar dengan lugas pada Minggu, 4 Mei 2025.
Lebih lanjut, Gaffar mengurai bahwa fondasi kesejahteraan yang kokoh bertumpu pada pemerintahan yang efektif dan responsif.
Pembentukan daerah istimewa atau otorita baru, menurutnya, baru akan relevan jika mampu mendongkrak efisiensi birokrasi dan pelayanan publik secara nyata.
“Jika motivasinya sekadar memuluskan sirkulasi elite dan menata ulang peta kekuasaan, saya kira esensinya nihil,” tandasnya dengan nada prihatin.
Di sisi lain, Gaffar mengingatkan akan bahaya laten jika pembentukan daerah baru hanya menjadi kendaraan politik bagi kepentingan elite tertentu.
Pengalaman pahit pemekaran daerah di masa lalu, yang justru melahirkan inefisiensi anggaran dan membuka celah praktik korupsi, menjadi pelajaran berharga yang tak boleh diabaikan.
“Alih-alih menyejahterakan rakyat, yang justru terjadi adalah kemakmuran segelintir elite politik. Jurang ketimpangan sosial pun kian menganga,” tegasnya, menggambarkan potensi dampak buruk yang mengintai.
Menanggapi argumentasi bahwa daerah bekas kerajaan layak menyandang status istimewa, Gaffar memberikan perspektif yang lebih mendalam.
Baginya, warisan sejarah semata tidaklah cukup menjadi landasan kuat. Urgensi dan relevansi kekinian juga menjadi faktor penentu yang tak bisa diabaikan.
Ia mencontohkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai satu-satunya wilayah yang berhasil mempertahankan struktur pemerintahan kerajaan secara utuh hingga saat ini, meliputi raja, keraton, wilayah, sistem politik, hingga elemen-elemen tradisional lainnya.
“Untuk daerah lain, yang tersisa hanyalah jejak sejarah. Struktur pemerintahannya sudah tidak lagi komprehensif. Oleh karena itu, argumen tersebut terasa rapuh,” jelasnya dengan argumentasi yang kuat.
Gaffar bahkan menyoroti bahwa fenomena daerah istimewa di Indonesia selama ini lahir dari kombinasi faktor sejarah khusus dan urgensi yang mendesak, seperti peran vital DIY dalam perjuangan kemerdekaan, sejarah konflik yang melatarbelakangi keistimewaan Aceh, hingga status DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dengan tata kelola yang spesifik.
Daerah-daerah tersebut dianugerahi kewenangan khusus yang disesuaikan dengan konteks uniknya, seperti fleksibilitas urusan pertanahan di DIY, legalitas partai lokal di Aceh, hingga kekhususan tata kelola kabupaten/kota di DKI Jakarta.
Lebih jauh, Gaffar mengkritisi kecenderungan Indonesia menganut sistem pemerintahan daerah yang seragam, padahal keragaman sosial-budaya antar daerah sangatlah mencolok.
Ia mendesak agar negara berani merancang sistem otonomi daerah yang asimetris, memberikan keleluasaan bagi setiap daerah untuk mengelola pemerintahan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing. Pendekatan parsial dan tambal sulam dalam menata daerah, menurutnya, harus segera diakhiri.
“Jika otonomi daerah tidak seragam, esensinya setiap daerah akan menjadi istimewa dengan caranya sendiri. Dengan demikian, polemik mengenai daerah khusus akan meredup dengan sendirinya,” imbuhnya, menawarkan solusi yang inovatif.
Sebagai penutup, Gaffar menyarankan agar pemerintah segera merumuskan desain besar yang komprehensif untuk sistem pemerintahan daerah di seluruh Indonesia.
“Jika kita sungguh-sungguh ingin menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih efektif, mari kita pikirkan keseluruhan lanskap Indonesia. Rancanglah sistem yang mengakomodasi keberagaman, sistem yang tidak seragam dan tidak simetris,” pungkasnya, menyerukan perubahan paradigma dalam penataan daerah. ***