Dari Gus Dur Hingga Prabowo: Akankah Pendekatan Kultural Mampu Menembus Buntu Pembangunan Papua?

Pendekatan pembangunan mendalam dan berkelanjutan dibutuhkan di Papua, yang diperkirakan tempat peradaban manusia 42.000 hingga 48.000 tahun

26 November 2025, 07:22 WIB

Sorong –  Tanah Papua, sebuah wilayah yang diperkirakan telah menjadi tempat peradaban manusia sejak 42.000 hingga 48.000 tahun yang lalu, kini membutuhkan pendekatan pembangunan yang mendalam dan berkelanjutan.

Dengan kekayaan alam dan budaya yang memukau, Papua telah lama menarik perhatian dunia, dari pelaut Eropa seperti António de Abreu dan Francisco Serrão pada abad ke-16 hingga para peneliti modern.

Bahkan nama “Nueva Guinea” disematkan oleh Ortiz de Retez pada tahun 1545 karena kemiripan penduduknya dengan Pantai Guinea di Afrika Barat, menunjukkan betapa uniknya identitas masyarakatnya sejak dahulu kala.

Pesona Papua terletak pada gabungan kontras bentang alam—dari pegunungan salju hingga delta lumpur, dari hutan rimba yang kaya flora-fauna hingga lautan yang subur—dan kebudayaannya yang mengakar. Sekitar 255 suku mendiami tujuh wilayah adat yang diusulkan oleh Dewan Adat dan Lembaga Masyarakat Adat Papua pada awal tahun 2000-an:

Wilayah Adat:  Ha Anim La Pago Me Pago Saireri, Mamberamo-Tabi Doberay Bomberay

Pembagian ini, yang didasarkan pada hubungan kekerabatan, hak ulayat, dan geografis yang diwariskan leluhur, bertujuan melindungi hak masyarakat adat dan mempertahankan identitas kebudayaan.

Meskipun istilah “identitas orang Papua” amat beragam, antropolog Boelaars (1986) menemukan adanya nilai pengikat: cara orang Papua mendekati lingkungan, sesama manusia, dan dunia rohaninya.

Identitas ini terbentuk dalam relasi intim dengan alam dan hutan adat, sesama suku, dan dunia leluhur—relasi yang memandang alam sebagai subjek yang menyediakan segalanya, bukan sekadar objek eksploitasi. Filosofi ini, yang dianut kaum peramu dan petani, menumbuhkan semangat swadaya dan swakarsa.

Model ekonomi adat seperti sistem sasi di Bomberay (untuk tanaman jangka panjang seperti pala dan durian) bahkan terbukti mampu meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi ketimpangan (Tebtebba, 2018).

Kebijakan pusat terhadap Papua telah berganti seiring pergantian kepemimpinan, namun akar masalah sering kali belum tersentuh.

Presiden Soekarno (Trikora): Pendekatan nasionalis dan perlawanan terhadap kolonialisme.

Presiden Soeharto: Pendekatan keamanan (stabilitas politik) dengan menempatkan perwira ABRI di posisi strategis.

Presiden Habibie: Memulai dengan pendekatan teknokratis dan dialog.

Presiden Gus Dur: Pendekatan kultural yang menyentuh hati, ditandai dengan perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua.

Presiden Megawati: Menerbitkan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus), mengakui hak-hak dasar masyarakat adat dan membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP).

Presiden SBY: Pendekatan keamanan dan kesejahteraan melalui pembentukan UP4B, berfokus pada akses pendidikan dan beasiswa afirmasi.

Presiden Joko Widodo: Fokus pada pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi dan mengatasi kesenjangan pembangunan.

Meski demikian, penelitian LIPI (kini BRIN) pada tahun 2009 mengidentifikasi empat akar masalah di Papua yang masih relevan: (1) masalah sejarah dan status politik integrasi, (2) kekerasan dan pelanggaran HAM, (3) diskriminasi dan marjinalisasi, dan (4) kegagalan pembangunan di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Membangun Papua dengan pendekatan adat dan kebudayaan kini menjadi solusi berkelanjutan yang paling mendesak. Kebijakan ini harus dilandasi oleh dua kondisi objektif:

Mengedepankan Manusia dan Alam: Pembangunan kultural wajib melihat relasi manusia-alam sebagai subyek-subyek. Merusak alam untuk pembangunan dianggap sistematis menghilangkan identitas orang Papua.

Peraturan Berbasis Adat: Semua peraturan, termasuk UU Otsus dan pembentukan lembaga adat (MRP), harus dilandasi semangat adat dan kebudayaan.

Pendekatan ini menjembatani perbedaan pusat dan daerah karena mengandung semangat rekonsiliasi, pemberdayaan, dan pembangunan yang menyejahterakan. Prinsip utamanya meliputi:

Partisipasi aktif masyarakat adat dalam perencanaan hingga evaluasi.

Penguatan kelembagaan adat (MRP, lembaga adat lainnya).

Pengembangan sistem pertanian berbasis adat (meningkatkan pangan lokal).

Penyelenggaraan pendidikan berbasis kebudayaan dan pengembangan obat-obatan adat.

Pengakuan hak ulayat dan pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal.

Dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI 2024-2029 membawa harapan baru. Dengan rekam jejak yang berhubungan dengan Papua (termasuk Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma 1996), masyarakat menantikan kebijakan yang populis dan menyentuh akar masalah.

Melihat realitas saat ini, kebijakan yang paling strategis adalah menjadikan adat dan kebudayaan Papua sebagai dasar pembangunan. Pembangunan di Papua tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal dan sistem adat masyarakat asli. Pendekatan adat ini diharapkan mampu membawa harapan bagi kehidupan yang lebih baik, aman, dan sejahtera di Tanah Papua.  (*)

* Oleh Dr. MS Komber, Dosen Universitas Pendidikan Muhamadiyah Sorong Papua Barat Daya

Berita Lainnya

Terkini