Beijing – Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) dipimpin Luthfi Yazid, menyambangi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing pada 1 Juli 2025. Kunjungan ini dilakukan setelah Luthfi Yazid memenuhi undangan untuk menyampaikan presentasi di kampus China University of Political Science and Law (CUPL).
Delegasi DePA-RI, yang beranggotakan 13 orang termasuk Abdul Aziz Zein, Sugeng Aribowo, Ainuddin Abdul Hamid, Aulia Taswin, dan lainnya, disambut hangat oleh perwakilan KBRI Beijing, antara lain Nur Evi Rahmawati (Minister Counsellor), Irwansyah Mukhlis (Minister Counsellor, Political Affairs), dan Yudil Chatim (Education and Culture Attache). Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok tidak dapat hadir karena sedang menghadiri acara penting lainnya.
Meningkatnya Kasus “Male Order Bride”: Janji Manis Berujung Kekecewaan
Dalam pertemuan tersebut, salah satu isu krusial yang menjadi sorotan adalah fenomena “Male Order Bride” yang semakin marak dan menimbulkan banyak masalah. Praktik ini melibatkan pernikahan antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara Tiongkok melalui perantara agen di kedua negara.
“Male Order Bride” mirip dengan biro jodoh, di mana agen gencar mempromosikan calon suami WNA dengan janji-janji menggiurkan seperti pengusaha kaya, tampan, dan setia. Calon suami bahkan bersedia membayar “mahar” ratusan juta rupiah kepada perempuan Indonesia. Namun, uang yang diterima calon istri seringkali jauh berkurang karena potongan agen.
Mirisnya, setelah pernikahan dilangsungkan, seringkali muncul kekecewaan besar. Para perempuan WNI kerap mendapati kenyataan bahwa suami mereka ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan, bahkan ada yang hanya penjual kelontongan kecil, pemalas, atau pengangguran.
Ditambah lagi, mereka seringkali harus tinggal di pelosok desa di Tiongkok, jauh dari harapan awal. Percekcokan pun tak terhindarkan, berujung pada permintaan cerai dari pihak perempuan yang kemudian dipersulit oleh suami yang merasa sudah membayar “mahar.”
Peran Agen dan Keterbatasan KBRI
Kasus “Male Order Bride” ini menjadi tantangan besar bagi KBRI Beijing. Dengan keterbatasan personel dan banyaknya persoalan lain yang harus ditangani, seperti ribuan mahasiswa Indonesia di Tiongkok dan intensitas perdagangan yang meroket, KBRI memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Hal ini karena semua persyaratan formal pernikahan disiapkan oleh agen.
Luthfi Yazid menegaskan bahwa agen memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan informasi yang akurat mengenai calon suami, termasuk kondisi ekonomi dan domisili. Jika tidak, ada risiko pidana bagi agen.
DePA-RI Siap Berkontribusi Atasi Permasalahan WNI di Luar Negeri
DePA-RI menyatakan kesiapannya untuk turut serta dalam mensosialisasikan informasi legal yang diperlukan terkait “Male Order Bride.”
Luthfi Yazid khawatir jika masalah ini tidak ditangani sejak dini, dapat berkembang menjadi masalah sosial-politik yang lebih kompleks.
Ia membandingkan praktik agen “Male Order Bride” dengan agen pengiriman pekerja atau pelajar ke luar negeri, hanya saja pekerja dari Indonesia ke Tiongkok tidak diizinkan kecuali untuk pekerjaan yang membutuhkan spesialisasi.
Permasalahan WNI di luar negeri, seperti kasus penipuan yang dialami WNI di Jepang yang dijanjikan pekerjaan atau pendidikan, tidak bisa hanya dibebankan kepada KBRI.
Luthfi Yazid menekankan pentingnya pembenahan dan penertiban dari hulu, melibatkan instansi terkait di Indonesia seperti imigrasi, Kementerian Ketenagakerjaan, dan pemerintah daerah, agar pengiriman WNI ke luar negeri lebih terjamin.
Dalam akhir sambutannya, Luthfi Yazid menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada KBRI Beijing atas kesediaannya menerima delegasi DePA-RI dan berdiskusi mengenai berbagai permasalahan WNI di Tiongkok. ***