Dinilai Kurang Terbuka, Dosen UGM Desak DPR dan Partai Politik Lakukan Reformasi Menyeluruh

Dosen FISIPOL UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menegaskan untuk reformasi parlemen diperlukan perubahan struktural dan menyeluruh.

1 September 2025, 19:59 WIB

Yogyakarta – Publik kembali menyoroti kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyusul berbagai kasus etik yang melibatkan anggota dewan. Meskipun telah ada tindakan seperti penonaktifan dan pemotongan tunjangan, kalangan akademisi menilai respons tersebut belum menyentuh akar permasalahan.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menegaskan reformasi parlemen tidak bisa hanya berhenti pada tindakan jangka pendek. Menurutnya, diperlukan perubahan yang lebih struktural dan menyeluruh.

“Kita butuh sesuatu yang lebih jangka panjang dan menyasar kepada sesuatu yang sistemik,” ujar Alfath, Senin (1/9/2025).

Alfath menyoroti sejumlah regulasi penting yang harus segera diselesaikan, termasuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Ia menyebut RUU ini sebagai instrumen vital dalam pemberantasan korupsi. “Koruptor itu tidak takut mati, koruptor itu hanya takut miskin,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti peran sentral partai politik. Menurutnya, pola hubungan yang terlalu terpusat pada ketua umum menghambat demokratisasi internal partai.

Alfath menilai, selama praktik politik masih dikuasai segelintir elite dengan model pewarisan kekuasaan, regenerasi kader berkualitas akan sulit terjadi.

“Praktik politik kita masih seperti perusahaan keluarga. Banyak kader potensial tidak punya ruang karena semuanya ditentukan berdasarkan loyalitas, bukan kompetensi,” ungkapnya.

Dalam konteks pengawasan, Alfath mendorong penguatan partisipasi publik melalui mekanisme audit sosial dan peningkatan transparansi. Ia menyarankan agar DPR membuka akses terhadap seluruh proses legislasi, mulai dari siaran langsung sidang hingga ketersediaan dokumen publik.

“Sudah seharusnya setiap kebijakan yang diambil oleh DPR merefleksikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat itu sendiri,” ujarnya.

Menurut Alfath, produktivitas regulasi harus benar-benar memberikan dampak nyata, bukan sekadar aturan di atas kertas.

Alfath menekankan keberhasilan reformasi parlemen akan sangat bergantung pada komitmen politik (political will) dari partai. Ia mengingatkan, jika partai lebih fokus pada kepentingan internal daripada suara rakyat, potensi kekacauan politik akan semakin besar.

“Sumber dari segala kekacauan yang terjadi di Indonesia besar potensinya dihasilkan dari proses politik ini,” tandasnya.

Menutup pernyataannya, Alfath memberikan rekomendasi agar partai berkomitmen menindaklanjuti aspirasi publik, menghentikan arogansi anggota dewan, dan membangun empati para pejabat terhadap kondisi masyarakat.

“Kita harus lebih banyak berempati pada persoalan kepublikan, sekaligus memastikan mereka bekerja untuk membuat masyarakat lebih sejahtera,” pungkasnya. ***

Berita Lainnya

Terkini