DJP Bali Ungkap Pidana Perpajakan Perusahaan Alat Konstruksi, Rugikan Negara Rp1 Miliar

20 Januari 2023, 10:15 WIB

Denpasar – Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali mengungkap kasus tindalk pidana perpajakan yang menyeret petinggi perusahaan alat konstruksi dengan kerugan negara mencapai Rp1 Miliar.

Petugas DJP Bali menyerahkan tersangka KT beserta barang bukti kasus tindak pidana perpajakan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Badung di Kantor Kejari Badung, Jl. Raya Terminal Mengwi No 5, Mengwi, Badung, Bali Rabu 18 Januari 2023.

Penyerahan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap pada 5 Desember 2022.

Pelaksana Harian (Plh.) Kepala Kanwil DJP Bali I Made Artawan menjelaskan,

“KT merupakan penanggung jawab pada CV RJ yang bergerak dalam bidang usaha penyewaan alat konstruksi dengan operator yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Selatan,” tutur Pelaksana Harian (Plh.) Kepala Kanwil DJP Bali I Made Artawan dalam keterangan tertulis.

KT diduga kuat telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan/atau dengan sengaja menyampaikan SPT Masa PPN dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; dan/atau dengan sengaja tidak menyetorkan PPN yang telah dipotong atau dipungut pada kurun waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Maret 2016.

KT secara langsung melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP).

“Akibat tindakan yang dilakukan oleh Tersangka ini menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sekurang-kurangnya Rp1.092.730.070,00” ungkap Made Artawan.

Atas perbuatannya tersebut KT terancam pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Namun demikian, untuk kepentingan penerimaan negara sesuai Pasal 44B (1) UU
KUP, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat permintaan.

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud di atas hanya dilakukan apabila KT melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

“Dalam melakukan penanganan perkara pidana pajak, pihak Direktorat Jenderal Pajak selalu mengedepankan asas ultimum remedium yakni hukum pidana akan dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum,” tambah Made Artawan.

Sebelumnya Kanwil DJP Bali melalui KPP Pratama Badung Selatan telah menyampaikan himbauan pada KT terkait pelaporan kewajiban perpajakannya.

Kemudian Nomor: SP- 1/WPJ.17/2023eskalasi berlanjut ke proses pemeriksaan bukti permulaan (penyelidikan), KT juga telah diberikan hak untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (3) UU KUP, namun sampai dengan dilakukan proses penyidikan serta pelaksanaan penyerahan tersangka dan barang bukti (P-22) KT tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar.

Made Artawan menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Kepolisian
Daerah Bali selaku Pembina Kordinator Pengawas PPNS beserta jajaran, Kepala Kejaksaan
Tinggi Bali beserta jajaran, Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali
beserta jajaran.

Serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya tugas penegakan hukum pajak di wilayah kerja Kanwil DJP Bali, dan seluruh PPNS yang telah bekerja secara profesional dan sinergi.

“Saya mengharapkan dengan adanya proses penegakan hukum ini dapat menimbulkan efek gentar (deterrent effect) terhadap Wajib Pajak lainnya agar senantiasa melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan yang berlaku,” tutupnya. ***

Berita Lainnya

Terkini