Drama Foto ‘Spontan’ di Bandara Ngurah Rai: Kakek Parkinson Divonis 3 Bulan, Minta Keadilan di Tingkat Banding

Sebuah kasus melibatkan pria lanjut usia, Tonny (69) memasuki babak baru pascavonis 3 bulan atas tuduhan pengambilan foto tak senonoh

6 Juni 2025, 07:40 WIB

Denpasar – Sebuah kasus yang melibatkan pria lanjut usia, Tonny (69) asal Malang, Jawa Timur, kini memasuki babak baru. Tonny divonis 3 bulan penjara atas tuduhan pengambilan foto tak senonoh di Bandara Ngurah Rai akhir tahun 2024 lalu.

Namun, pria yang mengidap Parkinson dan demensia ini bersikukuh bahwa foto-foto tersebut diambil secara spontan, tanpa niat cabul, dan justru menjadi awal mula drama hukum yang terasa janggal.

Saat ditemui wartawan di Denpasar, Tonny menceritakan malam mencekam Kamis (5/6/2025) ketika ia dipanggil ke Polresta Bandara. Ia mengaku, pengambilan foto p4yud4r4 yang dituduhkan kepadanya terjadi begitu saja.

“Foto itu saya ambil secara spontan dengan tujuan untuk memberikan informasi atau kabar kepada teman-teman yang ada di komunitas, di kelompoknya bahwa saya telah mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali. Saya juga sempat foto pramugari. Semuanya spontan,” jelas Tonny.

Pria paruh baya ini juga menjelaskan mengapa ada hingga 13 foto di objek yang sama. Kondisi medisnya, Parkinson dengan tremor tinggi serta demensia, menjadi alasannya.

“Saya ini mengidap Parkinson Tremor. Ada bukti medisnya. Saya ini setiap hari menelan obat atas saran dokter. Saya juga mengidap dimensia,” ujarnya, sembari menunjukkan tangannya yang tak terkontrol saat memegang ponsel.

Ketika hendak turun dari pesawat, tangannya yang memegang kamera ponsel yang menyala tak bisa dikontrol, sehingga banyak foto terekam di luar kendali.

Insiden di Bandara Berujung Penahanan dan Tuntutan Hukum

Tonny mengisahkan, korban berinisial N mulai marah dan mengamuk sejak di dalam pesawat, berlanjut hingga di runway menuju terminal kedatangan.

Suami N, bahkan ikut menyita ponsel Tonny dan memeriksa seluruh isinya.

“Karena saya takut maka saya berinisiatif meminta perlindungan ke Polresta Bandara. Namun korban dan suaminya datang mengamuk di Polres Bandara, dengan suara tinggi, marah-marah dan bentak-bentak.

“Polisinya sampai bingung, saya ditahan hingga tengah malam baru dibolehkan pulang,” kenang Tonny.

Sejak saat itu, ponsel Tonny ditahan pihak kepolisian. Tonny mengaku sudah berkali-kali meminta maaf dan mempersilakan korban menghapus sendiri foto-foto tersebut, namun permohonannya tidak digubris.

Penasihat hukum Tonny Nugroho, Yulius Benyamin Seran, menyoroti kejanggalan dalam proses hukum kliennya yang terasa begitu cepat.

“Bahkan pemanggilan pemeriksaan yang pertama sudah langsung pro justicia artinya sudah naik penyidikan, dan pemeriksaan yang kedua sudah sebagai tersangka waktu itu,” ungkap Benyamin.

Proses hukum yang serba kilat ini berujung pada putusan P21, dan Tonny divonis 3 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar pada Selasa (3/6/2025) lalu.

“Kami selaku Penasihat hukum tetap menghormati putusan pengadilan di PN Denpasar. Klien kami divonis 3 bulan penjara namun kami sudah bulat untuk mencari keadilan di tingkat banding. Memori banding sudah kami siapkan,” tegas Benyamin.

Benyamin Seran mengungkapkan bahwa dalam proses banding nanti, pihaknya akan melampirkan bukti-bukti mengejutkan berupa dugaan permintaan uang dari penasihat hukum korban.

“Kami akan melampirkan bukti berupa print out screenshot percakapan antara klien kami Tony Nugroho dengan Penasihat hukum korban. Ada juga rekaman suara soal permintaan uang, ada juga bukti rekaman video percakapan permintaan uang ,” beber Benyamin.

Ia menambahkan, bahkan ada pengakuan korban yang pernah dipanggil ke Surabaya oleh kuasa hukumnya untuk membicarakan rincian pembayaran uang tersebut dengan janji perdamaian.

Fakta permintaan uang miliar ini juga diakui oleh suami korban, saat diperiksa sebagai saksi di persidangan tingkat pertama. Namun, dia bersikeras uang tersebut tidak bisa mengembalikan trauma istrinya.

“Lalu kenapa harus minta uang? Bukankah harga diri korban tidak bisa dinilai dengan uang?” tanya Benyamin retoris.

Tonny Nugroho dijerat Pasal 14 Ayat Ke-1 (a) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang khusus mengatur kekerasan s3ksual berbasis elektronik.

Pasal ini bisa menjerat siapa saja yang mengambil gambar tanpa izin di ruang publik. Namun, Benyamin Seran menyoroti kejanggalan putusan ini. Saksi ahli yang dihadirkan di persidangan menyatakan bahwa setelah melihat foto-foto korban, tidak ditemukan unsur kekerasan seksual elektronik.

“Yang ada adalah korban dalam keadaan pakaian lengkap, tidak kelihatan p4yud4r4nya, karena tertutup pakaian, dan ada di ruang publik,” jelas Benyamin.

Ia juga membandingkan kasus Tonny dengan putusan pengadilan lain yang telah berkekuatan hukum tetap dengan pasal yang sama.

Pertama, kasus di Bangli, Bali, di mana pelaku mengambil gambar melalui lubang terhadap korban yang sedang mandi tel4nj4ng. Kedua, kasus di Cimahi di mana seorang ayah tiri mengambil gambar terhadap anak tirinya yang sedang tidur pulas hingga memperlihatkan aurat.

“Di sini jelas, unsur kekerasan seksual elektronik terjadi, yakni ada di ruang tertutup, foto orang sedang mandi , foto anak tiri sedang tidur nyenyak dengan pakaian yang tersingkap sampai memperlihatkan aurat.

Sementara korban N ada di ruang publik, berpakaian seperti biasa, tidak memperlihatkan payud4r4 dan seterusnya. “Tetapi tetap divonis 3 bulan penjara,” urainya.

Dengan mempertimbangkan fakta-fakta ini, ditambah kondisi Tonny yang mengidap Parkinson Tremor, serta dugaan motif ekonomi di balik laporan polisi, tim kuasa hukum Tonny akan membawa kasus ini ke Pengadilan Tinggi dengan harapan menemukan keadilan. Akankah putusan banding mengubah nasib kakek 69 tahun ini? Publik menanti. ***

Berita Lainnya

Terkini