Budiman Sujatmiko poltisi PDI Perjuangan (Foto:KabarNusa) |
KabarNusa.com, Denpasar – Dukungan
politik yang kuat sangat meenentukan keberhasilan penerapan UU Nomor 6
tahun 2013 tentang Desa. Apalagi, UU ini merupakaan pola penataan yang
baru dalam pembangunan Indonesia.
Anggota
DPR RI Budiman Sujatmiko yang terlibat dalam Pansus RUU Desa menyebut,
dukungan politik ini pasti akan menguat bila masyarakat pedesaan sendiri
menggunakannya sebagai bargaining pada masa menjelang kampanye ini.
“Tanya
saja para Caleg itu apakah akan mememperjuankan penerapan UU ini
ataukah tidak,” ujarnya dalam diskusi di Universitas Udayana, Jum’at,
(7/3/2014)
PDI Perjuangan sebagai partai yang memperjuangkan UU ini, menurutnya, sudah pasti akan mengawal agar UU ini bisa terealisasi.
Dia menegaskan, UU ini merupakan “bayar hutang” para elit politik sejak jaman proklamasi kemerdekaan.
Sebab, kelahiran bangsa Indonesia sesungguhnya bukan hanya bermodalkan pengalihan kekuasaan dari para penjajah.
Lebih
dari itu, juga pengalihan kekuasaan dan aset dari penguasa lokal dan
desa-desa serta komunitas adat kepada Pemerintahan Indonesia.
Semestinya, hal itu dibayar kembali dengan pembangunan di pedesaan dan pengakuan komunitas adat.
“Ini
merupakan suatu revolusi dari desa,” kata Penyarikan Agung (Sekretaris
Jenderal) Majelis Utama Desa Pekraman Bali Ketut Sumartha menimpali.
Menurut dia, sampai saat ini belum terlihat pihak mana yang akan mengawal pemberlakuan UU ini.
Bahkan dari amatannya, pihak pemerintah pun belum tergerak untuk segera mempelajarinya.
“Jadi belum tentu Gubernur dan Bupati akan memberikan dukungan,” ujarnya.
UU
ini sangat berbeda dengan UU sebelumnya, karena menempatkan desa
sebagai subyek pembangunan yang bisa merencanakan pembangunan desa
dengan anggaran yang disediakan dari keuangan negara sedikitnya 1,2
milyar setiap tahunnya.
Yang diperlukan kemudian, adalah pendampingan dan pemberdayaan agar warga desa mampu melakukan peran itu.
Khusus
untuk Bali, ada masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu karena
kelembagaan desa yang terpilah dalam Desa Adat dan Desa Dinas.
Sumartha mengusulkan, agar Bali tidak memilih salah-satu lembaga tetapi memadukan fungsi yang ada dalam satu kelembagaan.
Desa
Dinas selama ini menjadi lembaga yang mengatur masalah kependudukan,
sosial dan fasilitas umum, sedang Desa Adat adalah lembaga yang mengatur
masalah keagaaman, adat dan budaya.(gek)