|  | 
| Ilustrasi/youtube pertamina | 
Jakarta – Memaksakan soal target Tingkat Komponen Dalam Negeri atau
 TKDN di BUMN bisa menyebabkan inefisiensi apalagi jika proyek-proyek tersebut
 terikat dengan skema kerjasamanya dan merupakan Penanaman Modal Asing (PMA.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mengingatkan hal itu menanggapi polemik yang
 digulirkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar
 Panjaitan (LBP) TKDN.
Asal muasalnya adalah tuduhan diarahkan kepada PT. Pertamina yang kini tengah
 mengerjakan sejumlah proyek kilang minyak dan gas bumi mendapat banyak
 pertanyaan seputar penggunaan komponen dalam negeri.
Salah satu pernyataan Kemarinves Luhut yaitu merasa geram melihat PT.
 Pertamina yang masih gemar melakukan impor komponen, khususnya pipa dan
 dianggap menghabiskan devisa.
Hal yang sama juga pernah diungkapkan oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik
 Negara (BUMN) Budi Gunadi Sadikin disela acara penandatanganan kerjasama
 Pertamina dan BUMN galangan kapal pada tanggal 14 Juli 2020.
Menurut Defiyan, harus mulai dilakukan tahapan perencanaan secara sektoral,
 termasuk kesiapan industri lokal supaya TKDN ini tidak hanya menjadi wacana
 apalagi hanya isu politik untuk kepentingan pihak tertentu.
Kata dia, keharusan memenuhi sasaran (target) TKDN untuk proyek di BUMN
 menyebabkan menyebabkan inefisiensi dari proyek tersebut.
“Aapalagi jika proyek-proyek tersebut terikat dengan skema kerjasamanya dan
 merupakan Penanaman Modal Asing (PMA. perputaran ekonomi di dalam negeri
 terjadi, apabila TKDN bisa dimulai dan dipenuhi pertama kalinya oleh BUMN,”
 tutur Defiyan dalam keterangannya, Jumat (26/3/2021).
Lantas, apakah serius pernyataan Menko Kemarinves ini. Tentu soal lain,
 ditengah banyaknya proyek yang justru dibawah koordinasinya, bahkan bukannya
 tak ada TKDN, malah sekaligus membawa Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Negara
 Republik Rakyat Cina (RRC) untuk kasus pembangunan pabrik di Sulawesi
 Tenggara.
Dia melanjutan, justru keluhan LBP yang seolah-olah memihak TKDN, lalu
 ditanggapi oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dengan menjelaskan,
 bahwa dalam pelaksanaan proyek, Pertamina telah menerapkan standar tingkat
 komponen dalam negeri (TKDN) minimum 30%, bahkan per Maret 2021 Pertamina akan
 mencapainya sebesar 52,8%.
Standar Dan Pemetaan TKDN
Publik perlu mengetahui dan sekaligus harus memahami, bahwa isu TKDN bukanlah
 persoalan yang pertama kali menjadi perhatian Pemerintah, sejak masa
 pemerintahan Orde Baru pun telah dicanangkan cinta produk dalam negeri.
Berdasar pengertian, Tingkat Komponen Dalam Negeri atau TKDN adalah besarnya
 komponen dalam negeri pada barang, jasa dan gabungan barang dan jasa.
 Pertanyaannya, adalah seberapa standar kekuatan industri di dalam negeri untuk
 mendukung kebijakan TKDN secara sektoral?
Paling tidak, ada 2 (dua) faktor penting yang menentukan terlaksananya kemauan
 (willingness) pemerintah atas TKDN ini, yaitu Soal Harga dan Kualitas TKDN
 barang dan jasa yang dihasilkan.
Hal ini penting, mengingat pelaksanaan proyek ataupun kegiatan industri sangat
 bergantung sekali dengan harga dan kualitas komponen yang akan digunakan
 dengan adanya batasan anggaran yang telah dipatok atas sebuah komponen.
Diungkapkannya, permasalahan kendala skema kerja sama itu terbukti pada
 periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di
 berbagai proyek infrastruktur banyak yang kemudian tidak berjalan karena
 adanya perbedaan persepsi soal TKDN di satu sisi.
Sementara disisi lain, ada pihak yang tak mempersoalkan TKDN, malah isu ini
 ditunggangi oleh berbagai kepentingan kelompok pemburu rente.
“Oleh karena itu, memang susah dibantah soal keharusan memenuhi sasaran
 (target) TKDN untuk proyek di BUMN (khususnya Pertamina dan PLN) akan bisa
 membuat permasalahan baru,” sambungnya.
Apalagi proyek itu dibangun dengan pola kerjasama strategis (strategic
 partner), dan dari pihak rekan kerjasama (partner) investasi, pembiayaannya
 berskala besar dan menuntut kualitas produk yang tinggi untuk sektor energi,
 harga yang murah serta ketersediaan produk tepat waktu.
Meskipun Luhut Binsar Panjaitan adalah Ketua Tim P3DN (Penguatan Penggunaan
 Produksi Dalam Negeri) sesuai PP nomor 29 Tahun 2018 dalam menerapkan
 kebijakan itu tidak bisa istilah bahasa Jawanya gebyah uyah apalagi hantam
 kromo, banyak faktor lain yang harus dibenahi berkaitan dengan kinerja lintas
 sektoral.
Kata Defiyan, ke arah inilah prioritas utama dibenahi terlebih dahulu sehingga
 persepsi dan koordinasi antar pemangku kepentingan (stakeholders) selaras
 dengan sasaran dan tujuan sektoral.
Sebagai contoh kasus, walaupun peluang usaha atau bisnis disektor Migas
 mencapai Rp70 Triliun, faktanya bahwa memang pipa impor yang berasal dari RRC
 jauh lebih murah dibanding pipa produksi BUMN Krakatau Steel, selisihnya bisa
 mencapai 10 -20%.
Disamping itu, harus mulai dilakukan tahapan perencanaan secara sektoral,
 termasuk kesiapan industri lokal supaya TKDN ini tidak hanya menjadi wacana
 apalagi hanya isu politik untuk kepentingan pihak tertentu.
Selain data kemampuan industri Indonesia harus dibedah secara sektoral dan
 juga dipetakan masing-masingnya, maka kebijakan harga lebih mahal dibanding
 produk impor atau barang dan jasa dari luar negeri, jika itu merupakan
 subtitusi produk atau komponen harus dipayungi oleh kebijakan pemerintah dan
 peraturan perUndang-Undangan yang mendukung.
Semestinya, jika memang serius untuk meningkatkan TKDN, maka harga lebih mahal
 dengan kualitas yang tak jauh berbeda tak menjadi masalah.
“Yang terpenting nilai tambah produksi (added value) itu tidak lari ke negara
 lain, tetapi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil
 perekonomian nasional untuk kesejahteraan rakyat Indonesia,” demikian Defiyan.
 (rhm)
 
 
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 