Ditengah belum pulihnya perekonomian nasional dan apalagi rakyat Indonesia publik justru dikejutkan oleh adanya kebijakan kenaikkan harga elpiji 3 kilogram (kg) yang merupakan barang bersubsidi.
Salah satu contoh kasusnya, yaitu disampaikan secara terbuka melalui media oleh Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Cirebon, Jawa Barat pada Hari Jum’at tanggal 4 Maret 2022 yang menyatakan Harga Eceran Tertinggi (HET) gas elpiji 3 kg naik dari Rp16 ribu menjadi Rp19 ribu per tabung.
Anehnya kenaikan harga Rp19.000 per tabung ini disebut sebagai bukan kenaikan harga, tapi penyesuaian HET gas oleh Sekretaris Umum Hiswana Migas DPC Cirebon Kiky Zulkarnaen.
Bahkan, Hiswana Migas ini mengatakan untuk kenaikan harga gas elpiji 3 kg yang terjadi di Kabupaten/Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan sudah lama direncanakan yaitu sejak beberapa tahun lalu.
Artinya, kenaikan harga gas elpiji subsidi 3kg per tabung ini memang telah direncanakan secara kalkulatif dan matang antara berbagai pihak yang memiliki kewenangan. Hal ini juga kemudian diikuti oleh kabupaten/kota lainnya seperti Kabupaten dan Kota Bekasi dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang baru melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Namun begitu, pertanyaan publik yang mendasar adalah siapakah pihak yang memiliki kewenangan menetapkan harga elpiji 3kg yang bersubsidi ini, kewenangan BUMN Pertamina melalui sub holding nya PT. Pertamina Patra Niaga/PPN (sub holding C&T) ataukah ada porsi kewenangan pemerintah daerah dan Hiswana Migas dalam melakukan perubahan harga?
Berapakah sebenarnya HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah bersama badan usaha yang berwenang mengelola gas 3 kg yang bersubsidi ini?
Secara umum, kebijakan penetapan harga suatu produk atau komoditas adalah domain yang berada pada perusahaan atau korporasi yang menghasilkan barang/jasa. Khusus untuk produk atau barang/jasa publik bagi kelompok masyarakat tertentu, ada kewenangan pemerintah untuk melakukan intervensi agar harga yang berbeda di pasar terjangkau oleh konsumen masyarakat.
Mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 3/PMK.02/2015 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2012, telah diatur ketentuan mengenai tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran, dan pertanggungjawaban subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tabung 3 Kilogram.
Selain itu, terdapat ketentuan yang terkandung dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 tahun 2007 (Perpres 104/2007) tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kilogram. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan penetapan harga dan distribusi gas elpiji 3kg sebagai sebuah bentuk penugasan negara telah cukup diatur oleh pemerintah.
Lalu untuk maksud dan tujuan serta kepentingan apa pemerintah daerah juga memiliki kewenangan dalam menetapkan peraturan mengenai distribusi dan perubahan harga barang bersubsidi yang merupakan kewajiban pelayanan kepada masyarakat atau Public Services Obligation (PSO)?
Dengan logika aturan dan kondisi perekonomian nasional terkini, maka mendesak Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan Bupati/Walikota yang telah dan akan diberlakukan terkait perubahan atau kenaikan harga gas 3kg bersubsidi di berbagai daerah untuk kepentingan stabilitas perekonomian daerah dan nasional serta menjadi preseden buruk yang akan menular ke daerah-daerah lain.
Pangkal soal keterlibatan banyak pihak dalam menentukan harga gas elpiji 3kg bersubsidi inilah mengakibatkan meningkatnya porsi biaya (margin) sehingga berdampak pada harga yang membuat tambah sulit kehidupan rakyat.
Padahal, BUMN PT Pertamina melalui anak perusahaannya PT Patra Niaga telah pernah mengajukan kepada pemerintah untuk mengubah ketentuan yang terkandung dalam Perpres 104/2007 tersebut tahun 2021 lalu.*
* Defiyan Cori , Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta