Ekonom UGM Peringatkan Menkeu Purbaya, Penarikan Dana Rp200 Triliun dari BI Berisiko Tekan Rupiah

Kebijakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menarik dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) mendapat sorota tajam kalangan akademisi.

11 September 2025, 22:56 WIB

Yogyakarta– Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) baru, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk menarik dana sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Denni Puspa Purbasari, Ph.D., mengingatkan bahwa langkah tersebut, meskipun bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, berisiko menekan nilai tukar Rupiah.

​Menkeu Purbaya yang baru ditunjuk dalam reshuffle kabinet pada Senin (8/9/2025) menyatakan niatnya menarik dana dari BI untuk meningkatkan likuiditas dan menggerakkan sektor riil. Namun, Denni Puspa Purbasari menilai kebijakan itu perlu kehati-hatian.

​”Menambah likuiditas memang bisa jadi solusi untuk memperkuat sektor riil,” kata Denni saat ditemui di Kampus FEB UGM, Kamis (11/9/2025).

Tapi harus diingat, ketika uang di pasar bertambah dan suku bunga turun, bisa saja investor asing melihat Indonesia kurang atraktif.

​Menurut Denni, situasi ini dapat memicu arus modal keluar (capital outflow), yang pada akhirnya akan melemahkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing.

Jika pelemahan (depresiasi) terjadi terlalu dalam, dampaknya bisa serius pada defisit transaksi berjalan.

​Denni menjelaskan, kebijakan ekonomi yang ideal seharusnya tidak hanya fokus pada keseimbangan internal—seperti stabilitas domestik dan penciptaan lapangan kerja—tetapi juga keseimbangan eksternal, yang berkaitan dengan stabilitas neraca pembayaran dan aliran modal asing.

​”Masalahnya, dua tujuan ini seringkali saling bertabrakan,” ujarnya. “Kebijakan yang mendukung pertumbuhan bisa melemahkan sektor eksternal, dan sebaliknya.”

​Denni juga menyoroti kebijakan penarikan dana dari BI sejatinya masuk dalam ranah kebijakan moneter.

Sesuai undang-undang, kebijakan ini adalah wewenang Bank Indonesia yang memiliki mandat untuk menjaga stabilitas Rupiah. Oleh karena itu, langkah tersebut perlu dikonsultasikan secara ketat.

​Data terbaru dari BI hingga semester I 2025 menunjukkan neraca transaksi berjalan Indonesia defisit sebesar $3,2 miliar. Sementara itu, neraca finansial juga tercatat negatif $5,6 miliar. Kondisi ini berbeda jauh dari tahun 2024 yang masih mencatat surplus.

​”Keluarnya investasi portofolio dalam bentuk saham dan obligasi senilai $8 miliar menjadi penyebab utama defisit neraca finansial tahun ini,” jelas Denni.

“Portofolio investment sangat sensitif terhadap sentimen pasar. Kalau ada kebijakan yang dianggap menurunkan return, mereka bisa keluar sewaktu-waktu.”

​Tekanan ini tercermin dari pergerakan nilai tukar Rupiah sepanjang tahun 2025. Meskipun depresiasi terhadap Dolar AS relatif kecil (1,44%), Rupiah melemah cukup dalam terhadap mata uang lain, seperti Yuan (4,62%), Dolar Singapura (8,17%), dan bahkan Euro (14,42%).

​”Ini alarm bagi kita semua,” pungkas Denni. “Ke depan, pemerintah harus sangat hati-hati dalam mengelola keseimbangan moneter dan fiskal.” ***

Berita Lainnya

Terkini