Yogyakarta— Rentetan banjir bandang dan longsor yang memorakporandakan Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh baru-baru ini dinilai sebagai lonceng peringatan keras akan krisis multi-bencana yang mengancam Indonesia.
Musibah beruntun yang menelan hampir 1.000 jiwa dan merusak infrastruktur secara masif ini disebut oleh pakar sebagai sinyal sistem penanggulangan bencana nasional saat ini sudah tidak lagi memadai menghadapi kompleksitas ancaman yang kian brutal.
Guru Besar Geologi Lingkungan dan Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus mantan Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, menyatakan, bencana kali ini adalah cerminan nyata dari kerentanan geologi Indonesia yang kini diperparah oleh krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
“Indonesia secara alamiah rawan multi-bencana. Namun kini situasinya jauh lebih kompleks karena dipicu pula oleh pemanasan global dan degradasi lingkungan,” tegas Prof. Dwikorita, Senin (15/12/2025).
Dwikorita menjelaskan, bencana di tiga provinsi tersebut bukan lagi sekadar bencana tunggal, melainkan bencana geo-hidrometeorologi berantai, di mana hujan ekstrem, longsor, dan banjir bandang saling memicu dan memperkuat.
Skala dan intensitasnya kini disebut telah melampaui kejadian sebelumnya, dengan jumlah korban jiwa yang mengerikan, mendekati 990 orang.
Data ilmiah yang diungkapkannya menunjukkan tren yang mengkhawatirkan:
Tahun Terpanas: Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern, dengan anomali suhu global mencapai 1,55^\circ Celsius di atas periode pra-industri.
Akselerasi Cuaca Ekstrem: Catatan BMKG mencatat lonjakan drastis kejadian cuaca ekstrem, dari 2.483 kejadian pada 2020 menjadi 6.128 kejadian pada 2024.
Sumatra Semakin Basah: Tren ini terlihat kuat di wilayah barat Indonesia, termasuk Sumatra, yang diproyeksikan akan semakin basah, meningkatkan risiko banjir bandang dan gerakan tanah.
“Hujan ekstrem yang dulunya jarang, kini muncul berulang dengan periode ulang yang semakin pendek. Ini yang menyebabkan daya rusak banjir bandang di Sumatra jauh lebih besar,” katanya.
Menurut Prof. Dwikorita, sistem penanggulangan bencana nasional yang diandalkan saat ini—yang sudah berlaku sejak 2007—dinilai terlalu fokus pada respons darurat dan belum dirancang untuk menghadapi kompleksitas multi-bencana akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
“Saat rehabilitasi baru dimulai, hujan ekstrem bisa datang lagi dan memaksa daerah terdampak kembali ke fase tanggap darurat. Mekanisme rutin tampaknya tidak lagi memadai,” jelasnya.
Ia menekankan, kondisi ini menuntut mekanisme penanganan khusus yang lebih cepat, terintegrasi, dan bersifat lintas sektor demi mewujudkan prinsip Build Back Better (Membangun Kembali Lebih Baik).
Mengambil contoh keberhasilan pasca-tsunami Aceh 2004, Dwikorita merekomendasikan perlunya pembentukan lembaga serupa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang memiliki mandat dan kewenangan terintegrasi.
“Dengan skala kerusakan sebesar ini, kita memerlukan lembaga lintas sektor yang mampu bekerja terpadu dan cepat,” ujarnya.
Langkah strategis yang direkomendasikan adalah Pemerintah segera menyusun kajian komprehensif bersama kementerian teknis, BNPB, dan akademisi.
Kajian tersebut wajib memasukkan faktor perubahan iklim dan proyeksi bahaya hidrometeorologi.
“Pembentukan lembaga khusus bukan sekadar keputusan administratif, tetapi langkah strategis agar negara benar-benar hadir dalam membangun kembali Sumut, Sumbar, dan Aceh di tengah risiko bencana yang terus meningkat,” pungkasnya.***

