Empat Negara Desak Kembalinya Pemerintahan Sipil di Sudan

4 November 2021, 14:32 WIB

AVvXsEiTTUBX36L1LujpKdCyUu26LcELc35EsmgPqOG1Mq7XQAzRyK iTuaAo0ywnpR9ccLesXQ4R7VBlRfm8nOr18 Rd6iwH0nkbXHJ7jOOgnnx m1S8ytlSnLsuTMeW5SyUS5
Empat negara desak pemulihan pemerintahan sipil di Sudan / Image by jorono from Pixabay

Washington – Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Inggris dan Amerika Serikat mendesak dilakukannya pemulihan pemerintahan sipil di Sudan setelah terjadinya kudeta pekan lalu.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang dekat dengan militer yang berkuasa di Sudan, sebelumnya hanya menekankan adanya stabilitas di negara itu.

“Kami menyerukan pemulihan penuh dan segera dari pemerintahan dan lembaga transisi yang dipimpin sipil,” kata pernyataan bersama keempat negara yang disampaikan oleh Departemen Luar Negeri AS hari Rabu, dikutip dari Al Jazeera, 3 November 2021.

“Kami mendorong pembebasan semua tahanan yang terkait dengan peristiwa baru-baru ini dan pencabutan keadaan darurat,” kata pernyataan tersebut.

“Tidak ada lagi kekerasan di Sudan baru, untuk itu kami mendorong semua pihak untuk berdialog, dan kami mendesak kepada semuanya agar memastikan perdamaian dan keamanan rakyat Sudan adalah prioritas utama,” tambahnya.

AS mengecam kudeta militer pada 25 Oktober yang mengganggu proses transisi demokrasi dimana kekuasaan dibagi dengan pemerintah sipil pimpinan Perdana Menteri Abdalla Hamdok.

PM Sudan Abdalla Hamdok awalnya ditahan lantas kemudian dia dikenakan sebagai tahanan rumah. 

Washington membekukan bantuan ekonominya sebesar $700 juta untuk jalur pipa bagi Sudan.

Militer Sudan juga mendapat tekanan dari Uni Afrika, yang menangguhkan negara itu hingga otoritas transisi pimpinan sipil kembali pulih.

Mesir tidak hadir dalam pernyataan bersama tersebut dimana posisinya jadi fokus kemarahan beberapa pengunjuk rasa pro-demokrasi yang turun ke jalan mengecam perebutan kekuasaan.

Pernyataan itu muncul saat upaya mediasi telah berlangsung selama beberapa hari untuk mencari jalan keluar krisis tersebut. 

Panglima militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengatakan pekan lalu dia ingin membentuk pemerintahan teknokrat baru, dan Abdalla Hamdok bisa kembali memimpinnya.

Namun kantor Abdalla Hamdok sendiri membantah adanya laporan bahwa Hamdok setuju memimpin pemerintahan baru, dan bersikeras Perdana Menteri yang digulingkan menginginkan para tahanan untuk dibebaskan dan badan-badan pemerintahan dipulihkan sebelum dilakukan dialog.

“Perdana Menteri Abdalla Hamdok, yang ditahan di kediamannya atas perintah otoritas kudeta, berpegang teguh pada persyaratan bahwa semua tahanan dibebaskan dan institusi konstitusional dipulihkan sebelum 25 Oktober, sebelum terlibat dialog apa pun,” katanya dalam pernyataan di Facebook.

Perdana Menteri Abdalla Hamdok dilarang berkomunikasi dengan pendukungnya, tambahnya.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken membahas krisis Sudan dalam beberapa hari terakhir dengan mitranya dari Arab Saudi dan UEA selama perjalanan ke Roma dan Glasgow untuk KTT G20 dan COP26.

“Analisis kami, stabilitas di Sudan bergantung pada pemulihan relasi antara warga sipil dan militer yang merupakan bagian dari transisi,” kata utusan khusus AS untuk Afrika Jeffry Feltmen.

Dia menyambut baik itikad menahan diri dari pihak militer maupun para pengunjuk rasa selama protes anti-kudeta nasional pada hari Sabtu, yang sebelumnya dikhawatirkan AS bisa terjadi pertumpahan darah. (fda)

Artikel Lainnya

Terkini