Evocations: Ketika Alphen dan Batukaru Bertemu dalam Dialektika Jiwa di ARMA UBUD

"Evocations", pameran di Museum ARMA Ubud mempertemukan dua seniman Damar Langit Timur dari Indonesia dan Laurence Spicher dari Basel, Swiss.

24 Desember 2025, 11:45 WIB

Ubud– Di penghujung tahun 2025, saat bumi kian lantang mengirimkan sinyal kegelisahannya melalui berbagai anomali cuaca dan bencana, sebuah ruang refleksi hadir di jantung budaya Bali.

Museum ARMA Ubud menjadi saksi lahirnya “Evocations”, sebuah pameran kolaborasi lintas benua yang mempertemukan dua seniman muda: Damar Langit Timur dari Indonesia dan Laurence Spicher dari Basel, Swiss.

Bukan sekadar pameran lukisan biasa, Evocations adalah sebuah monolog batin yang divisualisasikan. Ia hadir sebagai respons atas ketimpangan antara laju kerusakan alam dan lambatnya evolusi kesadaran manusia.

Melalui goresan kuas, keduanya berupaya memanggil kembali memori purba manusia tentang hubungan harmonis dengan semesta.

Bagi Damar Langit Timur, melukis adalah caranya berdialog dengan entitas yang tak kasat mata. Tumbuh besar dalam dekapan tradisi Bali, Damar tidak sekadar memindahkan objek ke atas kanvas.

Ia menghidupkan kembali mitos, simbol, dan filosofi luhur yang selama ini menjadi kompas hidup masyarakat Bali.

“Karya-karya Damar adalah percakapan antara dirinya dengan semesta, sebuah titik temu antara realitas lahiriah dan kebangkitan jiwa,” ujar Yudha Bantono, kurator pameran ini.

Di tangan Damar, flora, fauna, dan simbol-simbol mitologi bukan sekadar penghias, melainkan manifestasi pesan kuat tentang spirit alam.

Ia menarik narasi tradisi ke tengah riuhnya kehidupan modern, menjadikannya cermin bagi kita untuk melihat sejauh mana kita telah menjauh dari akar.

Di sudut lain, Laurence Spicher menghadirkan seri “Gunung” yang magis.

Meski tidak lahir di ketinggian, separuh hidup Laurence dihabiskan di Lembah Maggia, kaki Pegunungan Alpen. Baginya, gunung adalah katedral alam yang memiliki nyawa.

Pengalamannya menetap di Valley Maggia—dengan simfoni gemericik air batu dan udara pegunungan yang tajam—telah membentuk intuisi artistiknya. Namun, getaran yang sama ia temukan pula saat menatap keagungan Gunung Agung dan Batukaru di Bali.

“Cahaya, warna, dan kabut seolah ingin berdialog dengan saya,” ungkap Laurence. Ia menangkap kemiripan esensial antara dinginnya Alpen dan rimbunnya vegetasi tropis Bali.

Laurence menaruh hormat yang mendalam pada cara masyarakat Bali memuliakan alam sebagai bagian dari napas spiritual sehari-hari. Baginya, setiap gunung adalah pengingat akan ketulusan dan rasa hormat yang harus dijaga.

Direktur Museum ARMA, Agung Yudi (Gung Yudi), memberikan apresiasi tinggi atas kolaborasi ini. Ia menyebut Evocations sebagai pameran perdana bagi seniman muda yang berani mengawinkan kultur lintas benua di ARMA.

“Ini adalah kelanjutan dialog penting antara Barat dan Timur, khususnya Bali dan Basel, yang sudah terjalin lama. Pameran ini menjadi katalisator bagi diskusi krusial mengenai hubungan manusia dan alam,” jelas Gung Yudi.

Yudha Bantono menambahkan kekuatan utama kolaborasi ini terletak pada kemampuannya memancing emosi. Perjalanan kreatif Damar dan Laurence bukan sekadar pameran estetika, melainkan potret masa depan.

Mereka menciptakan karya yang menarik secara visual, namun bermuatan emosional yang dalam, memaksa pengunjung untuk berhenti sejenak dan bertanya: masihkah kita peduli pada bumi yang kita pijak?

Pameran Evocations resmi dibuka hari ini, 24 Desember 2025, dan akan menyapa publik pecinta seni hingga 24 Januari 2026 di ARMA Museum, Ubud. Sebuah ajakan untuk pulang dan meresapi kembali vibrasi alam sebelum waktu benar-benar usai.***

Berita Lainnya

Terkini