Film ‘Roots’: Sebuah Refleksi Mendalam Michael Schindhelm untuk Masa Depan Budaya Bali

Michael Schindhelm, lewat karyanya Roots kembali menyapa publik memicu dialog penting tentang masa depan Bali di tengah globalisasi.

3 November 2025, 06:04 WIB

DenpasarFilm dokumenter fiksi yang memukau, “Roots” karya sineas terkemuka Michael Schindhelm, kembali menyapa publik Bali, memicu dialog penting tentang masa depan pulau dewata di tengah badai globalisasi.

Setelah sukses meraih apresiasi tinggi di berbagai lokasi pemutaran sebelumnya, film ini hadir bukan hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai cermin kolektif.

Roots” secara sinematik mengungkap kisah Bali yang belum terjamah: kebangkitannya sebagai destinasi pariwisata global (Eldorado), dan perjuangan gigih masyarakatnya untuk mempertahankan identitas budaya di tengah gempuran modernitas.

Film ini dibuka dengan momen penting seratus tahun setelah kunjungan pelukis legendaris Walter Spies ke Bali.

Schindhelm menghidupkan kembali “arwah” Spies, yang secara historis berperan membawa pariwisata dan modernitas ke pulau ini, untuk mengajukan pertanyaan krusial: Apa sesungguhnya yang telah terjadi pada Bali?

Dengan pendekatan yang sangat mendalam, Michael Schindhelm memotret realitas tersebut, melibatkan lebih dari seratus seniman multi-genre sebagai pendukung.

Keterlibatan masif ini berhasil mengangkat sebuah realita yang perlu dipertimbangkan publik secara luas.

 

Jango Pramartha dari Jango Creative House dan Bog Bog menegaskan  “Roots” lebih dari sekadar kritik.

Film Roots adalah sarana bagaimana membangun ingatan secara kolektif dari apa yang terjadi untuk melihat dan berbuat yang terbaik di masa depan,” ujarnya.

Di tengah derasnya informasi dan masalah yang seolah tiada akhir di media sosial, “Roots” menawarkan jeda refleksi untuk merumuskan langkah terbaik ke depan.

Dalam lawatannya kali ini, Michael Schindhelm juga memanfaatkan momen untuk berbagi pengetahuan melalui pemutaran dua film lainnya,

“The Chinese Lives of Uli Sigg” dan “In the Mood of Art” di Universitas Warmadewa Denpasar, diprakarsai oleh Popo Danes Architect, Kecunduk Institute, dan Jimbaran Hijau.

Schindhelm juga menyambangi kawasan Jimbaran Hub, yang dipandang sebagai pusat laboratorium kebudayaan baru di Bali Selatan.

Di sana, ia berdiskusi dengan para seniman Bali, berbagi pengalaman tentang proyek seni imajinatifnya “After the Deluge”—sebuah ide untuk membayangkan tenggelamnya kota Basel, Swiss, guna memicu ide-ide penyelamatan kota dari audiens.

Dr. Putu Agung Prianta dari Jimbaran Hijau Foundation menyampaikan apresiasi besar atas kehadiran Schindhelm, yang dinilai sangat penting untuk berbagi pengetahuan, bertukar pandang, dan membangun jejaring dalam menempatkan seni, arsitektur, desain, serta gerakan kepedulian Bali demi masa depan yang berkelanjutan.

Menutup diskusi, Jango Pramartha menyoroti peran bersejarah Denpasar sebagai episentrum penting perkembangan budaya dan pariwisata, ditandai dengan kehadiran Bali Hotel di masanya.

“Melalui pemutaran film Roots karya Michael Schindhelm, catatan itu telah dihadirkan kembali,” kata Jango.

Ia berharap kegiatan dan ruang-ruang dialog budaya semacam ini dapat menstimulasi gerakan-gerakan budaya yang mampu mewakili, bahkan memimpin, gerak lintas generasi dalam menyambut tantangan masa depan Bali.

Sesusai pemutaran film Roots dilaksanakan sharing session seputar film dan kondisi Bali terkini, termasuk bencana Banjir yang baru-baru ini terjadi.

Michael Schindhelm mengatakan film Roots memang sebuah refleksi dari kenyataan perkembangan Bali, ia sangat yakin selalu ada harapan untuk berbuat yang terbaik bagi masa depan Bali.

Roots sesuai judul filmnya memang memiliki arti akar, akar bagi kekuatan budaya dan akar seperti yang dimiliki pohon yang menancap ke tanah sebagai kekuatan alam.

Bila kedua akar ini menyatu maka disinilah pengingat sebenarnya untuk menjaga alam dan keluhuran Bali, tambah Michael. ***

Berita Lainnya

Terkini