Jakarta – Keputusan Komisi XI DPR RI yang hanya meminta penangguhan, bukan pembatalan, terhadap Surat Edaran (SE) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, menuai kritik tajam dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI).
Ketua FKBI, Tulus Abadi, menilai rekomendasi DPR tersebut ambigu dan “setengah hati,” berpotensi merugikan konsumen asuransi kesehatan di masa depan.
“Rekomendasi tersebut bersifat ambigu, sebab hanya menangguhkan atau menunda. Dengan kata lain, Komisi XI DPR tidak serius menyerap aspirasi publik, bahkan hanya setengah hati saja,” ujar Tulus Abadi dalam pernyataan persnya.
Ia khawatir jika hanya ditunda, SE kontroversial ini sewaktu-waktu bisa diberlakukan kembali, bahkan ditingkatkan menjadi Peraturan OJK (POJK) yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi.
FKBI mendesak Komisi XI DPR untuk meminta OJK membatalkan SE OJK No. 7/2025 secara permanen dan memastikan tidak ada regulasi serupa yang diterbitkan di kemudian hari.
Menurut FKBI, filosofi di balik SE OJK No. 7/2025 mengandung “spirit yang sesat pikir” karena dinilai sangat melemahkan dan menjadikan konsumen asuransi kesehatan sebagai “kambing hitam.”
Kebijakan ini disahkan dengan alasan untuk mengurangi praktik fraud oleh konsumen, over utilitas, serta tingginya inflasi di sektor kesehatan. Namun, Tulus Abadi menyoroti ketidakadilan dari argumen tersebut.
“Misalnya, dugaan praktik fraud di sektor kesehatan pelakunya multi-stakeholder, bukan hanya konsumen. Tetapi kenapa konsumen yang hanya dijadikan tertuduh, dan kemudian dibebani co-payment sebesar 10 persen?” tanya Tulus Abadi, menyoroti beban tambahan yang dikenakan pada konsumen.
Terkait dugaan over utilitas, FKBI berpandangan bahwa hal tersebut dapat dimitigasi dengan prasyarat yang lebih ketat, seperti pemeriksaan kesehatan (medical check-up) detail.
“Jadi, over utilitas bisa karena terlalu longgarnya aturan saat konsumen akan menjadi peserta asuransi kesehatan,” imbuhnya, menunjukkan bahwa masalah bisa berasal dari kelonggaran regulasi awal, bukan semata-mata ulah konsumen.
Mengenai tingginya inflasi di sektor kesehatan yang disebut mencapai 12,5 persen, Tulus Abadi menegaskan bahwa ini adalah tugas dan tanggung jawab regulator serta pemerintah untuk melakukan intervensi, bukan dibebankan kepada konsumen.
“Pemerintah dan OJK harus mengulik dari sisi hulu hingga hilir, agar tingginya inflasi di sektor kesehatan bisa diturunkan, sebagaimana inflasi secara keseluruhan,” tegas Tulus Abadi.
Ia menekankan pentingnya peran pemerintah dan OJK dalam mengatasi akar masalah inflasi, alih-alih menjadikan konsumen sebagai sasaran kebijakan yang tidak adil.
FKBI berharap agar aspirasi konsumen ini dapat dipertimbangkan serius oleh Komisi XI DPR dan OJK, demi mewujudkan perlindungan yang adil dan kuat bagi seluruh pemegang polis asuransi kesehatan di Indonesia. ***