Gunungkidul – Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 resmi dibuka di Kabupaten Gunungkidul, memancarkan pesan mendalam tentang penghargaan terhadap hasil bumi dan para pelaku di baliknya. Lebih dari sekadar perayaan seni, FKY tahun ini menjadi panggung pembuktian potensi ekonomi kreatif masyarakat pedesaan.
Sorotan utama tertuju pada keberhasilan Kapanewon Gedangsari, salah satu dari 15 kapanewon termiskin di DIY, yang produk-produknya berhasil menembus kurasi ketat di outlet Bandara Internasional Yogyakarta (YIA).
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menekankan pencapaian Gedangsari adalah simbol semangat “Adoh Ratu Cedak Watu” – jauh dari pusat pemerintahan tak berarti tak berdaya.
Gedangsari itu masuk di 15 kapanewon miskin. Tapi apa yang kita buktikan, di sana sudah ada banyak produksi-produksi yang kualitasnya tidak main-main juga.
“Ini sudah sampai di outlet YIA, dan YIA ini ada kurasinya loh, berarti kan sudah sampai level ke situ,” tegas Ni Made usai membuka FKY.
Menurutnya, FKY 2025 yang mengusung penghargaan terhadap hasil bumi dan makhluk yang membantu prosesnya, seperti diwujudkan dalam atraksi pawai hewan ternak, bukan sekadar “hura-hura” melainkan wadah pemberdayaan.
“Festival ini bukan sekadar perayaan semata, tapi ada makna mendalam. Kita bisa kelola dan tampilkan sebagai bagian dari masyarakat untuk tumbuh dan berkembang.
Dengan ekonominya kuat, wilayahnya akan maju,” jelasnya, sembari menyoroti pentingnya mengukur dampak ekonomi yang tumbuh dari kegiatan seni budaya ini.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kebudayaan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan, FKY telah mengalami rebranding besar-besaran, mentransformasi diri menjadi forum kebudayaan yang benar-benar “Milik Rakyat”.
“Festival ini benar-benar menjadi milik masyarakat dengan subjek dan materi yang sangat lekat dengan keseharian mereka. Bahkan mereka bisa menjadi seniman di dalam festival ini,” ujar Dian.
FKY 2025 dirancang berbasis riset dan residensi di Gunungkidul, di mana kurator dan pelaksana kreatif tinggal bersama masyarakat selama dua bulan untuk memahami kultur lokal.
Pendekatan ini memastikan FKY bukan lagi ajang pertunjukan satu arah, melainkan ruang gotong royong dan pemberdayaan.
Dian berharap festival ini memberikan dampak jangka panjang, seperti tumbuhnya rasa percaya diri masyarakat, sekaligus memperkuat nilai-nilai guyub dan kebersamaan yang menjadi akar budaya Yogyakarta.
FKY kini menjadi “festival pengetahuan, festival keguyuban, kebersamaan, dan memberikan pemahaman, masyarakat adalah pelaku budaya itu sendiri,” pungkasnya.***