Gaji DPR Naik Hingga Rp230 Juta: Dosen UGM Soroti Kurangnya Empati dan Hilangnya Kepercayaan Publik

Kenaikan penghasilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hingga mencapai Rp230 juta per bulan menunjukkan kurangnya empati pada rakyat

26 Agustus 2025, 18:25 WIB

Yogyakarta – Keputusan menaikkan penghasilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hingga mencapai Rp230 juta per bulan menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Kenaikan gaji ini dianggap tidak sensitif dan menunjukkan kurangnya empati terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang masih penuh tantangan.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menegaskan bahwa kebijakan ini sangat tidak sebanding dengan kondisi rakyat.

Dia membandingkan penghasilan anggota DPR yang mencapai 35,4 kali lipat dari pendapatan per kapita nasional yang hanya sekitar Rp6,5 juta per bulan.

“Langkah menaikkan penghasilan DPR di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit adalah kebijakan yang tidak empatik,” ujar Alfath, Selasa (26/8/2025).

Bahkan jika dibandingkan dengan negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat, Singapura, atau Filipina, kesenjangan antara penghasilan anggota legislatif dan upah minimum mereka tidak sejauh ini.

Alfath juga menyoroti dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut. Kesenjangan ekonomi yang mencolok antara pejabat publik dan masyarakat dapat memperkuat sentimen antipati terhadap proses politik dan menurunkan tingkat kepercayaan publik.

Demonstrasi yang terjadi di depan Gedung DPR RI pada 25 Agustus lalu disebutnya sebagai cerminan nyata dari keresahan publik.

“Rakyat semakin apatis karena melihat kinerja DPR yang rendah, tetapi fasilitas mereka terus ditambah,” ungkap Alfath.

“Ini berbahaya karena bisa membuat demokrasi kehilangan partisipasi aktif masyarakat.”

Menurutnya, solusi yang seharusnya dilakukan adalah mengurangi fasilitas pejabat, bukan sebaliknya.

Ia mencontohkan negara-negara seperti Swedia dan Belanda yang berhasil menunjukkan bahwa pengurangan privilege pejabat berdampak positif terhadap demokrasi.

“Negara-negara seperti Swedia dan Belanda sudah menunjukkan bahwa pengurangan fasilitas pejabat bisa berdampak positif terhadap demokrasi,” tegasnya.

“Karena jabatan publik seharusnya bukan tempat mencari keuntungan, tapi wadah bagi mereka yang benar-benar ingin membuat kebijakan untuk rakyat.”

Hingga kini, publik menantikan respons dari DPR dan pemerintah. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah kebijakan ini akan dievaluasi kembali atau tetap berjalan di tengah gejolak ekonomi rakyat yang terus berlanjut.***

Berita Lainnya

Terkini