![]() |
Gubernur Bali I Wayan Koster memberikan keterangan pers |
Denpasar – Gubernur Bali Wayan Koster mengaku prihatin karena banyak tarian sakral Bali yang bukan seni biasa karena karya yang diciptakan untuk kepentingan agama dan upakara justru dikomersialkan atau untuk mengejar penghargaan MURI.
Diungkapkan, seni budaya di Bali bukan seni biasa, melainkan berakar dari karya yang diciptakan untuk kepentingan upakara di mana kepentingan agama dan upakara agama dijalankan dengan satu tradisi adat istiadat yang juga diisi dengan unsur seni.
“Itulah kelebihan kita di Bali, ada gamelan serta tarian. Tariannya bersifat sakral karena dipentaskan saat ada upacara agama,” kata Gubernur Koster usai ‘Penandatanganan Keputusan Bersama Tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali’, di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Jayasabha, Denpasar, Selasa (17/9/2019).
Koster melihat, dewasa ini, banyak seni tari sakral yang banyak bergeser dan mulai dipentaskan untuk kepentingan komersialisasi. Dipentaskan di sembarang tempat, bahkan dijadikan alat untuk mendapatkan penghargaan seperti Rekor MURI.
“Kondisi ini kami anggap desakralisasi, yang akan menurunkan kesakralan, akan menggeser dan merusak tatanan seni budaya yang diwariskan leluhur,” tukasnya.
Karenanya, dalam rangka menguatkan adat dan kebudayaan lokal, dipandang penting memprioritaskan menjaga, melestarikan dan memelihara tatanan seni tradisi yang dimiliki Bali khususnya tari sakral.
Masyarakat harus memahami pentingnya hal ini dan memang harus dijaga bersama kesakralannya, sebagai suatu karya kreatif yang dibuat untuk upakara keagamaan, adat, agama dan budaya dalam satu kesatuan.
Meski demikan, Ketua dia tak menampik bahwa banyak seniman yang mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan suatu tarian baru dari tarian-tarian sakral tersebut. Langkah ini sama sekali bukan untuk mengekang kreativitas, seniman, sanggar seni, serta sekaa yang ada di Bali.
“Silahkan berkreasi dengan berbasis kepada seni tradisi sakral, namun tentu dibedakan dari garapan dan kemasannya. Namanya pun beda.
Ini semata-mata untuk kepentingan penguatan kesakralan tari tradisi kita, agar kita punya ‘pagar’ untuk mengontrol hal tersebut. Mudah-mudahan ini jadi langkah penting kita untuk memajukan kebudayaan di Bali,” tutupnya.
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) menyatakan, jika dari sudut pandang seniman, maka akan sangat berbeda orientasinya jika kita membawakan tarian yang sakral.
“Ini karena orientasinya 100 persen adalah persembahan kepada Tuhan, bukan untuk menghibur apalagi komersil. Kalau demikian sudah menyimpang namanya,” tuturnya.
Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof I Gede Arya Sugiartha menyebut daftar tarian yang disakralkan tersebut sudah melaui kajian antara lain melibatkan tim dari ISI Denpasar, dinas Kebudayaan provinsi Bali serta Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali.
“Kesepakatan ini tentu akan diteruskan dengan sosialisasi lebih lanjut ke masyarakat, agar tidak terjadi salah pemahaman. Sekali lagi ini bukan mengekang kreativitas, namun upaya untuk mendudukkan seni sakral ini di tempat yang semestinya. Unsur nilainya bisa berkembang lagi di masyarakat,” urainya.
Dalam upaya Penguatan dan Pelindungan Kebudayaan Bali sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, dibuat Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali yang ditandatangani oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana.
Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Umum Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Bandem, MA, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dr. I Wayan Adnyana, dan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha.
Adapun jenis tari sakral dimaksud antara lain: Tari Rejang, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede, Wayang Lemah, Topeng Sidakarya dan lain-lain dengan total 127 jenis tarian. “Tidak menutup kemungkinan bisa bertambah lagi, dengan melihat aspirasi dan usulan masyarakat,” imbuh Adnyana. (rhm)