Gugatan Etika dan Konflik Kepentingan Bayangi Riset BRIN tentang Rokok Elektrik

Penelitian BRIN menyimpulkan rokok elektrik (vape) memiliki kandungan zat berbahaya lebih rendah dibanding rokok konvensional menuai kritik.

5 Desember 2025, 05:36 WIB

Jakarta– Sebuah penelitian oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyimpulkan rokok elektrik (vape) memiliki kandungan zat berbahaya jauh lebih rendah dibandingkan rokok konvensional menuai kritik tajam.

Hasil riset yang diklaim sebagai penilaian toksisitas pertama di Indonesia berdasarkan sembilan senyawa berbahaya WHO ini, dianggap memiliki cacat mendasar dan berpotensi menyesatkan publik.

Kritikus, termasuk Pegiat Perlindungan Konsumen Tulus Abadi, menyoroti adanya konflik kepentingan yang kuat di balik penelitian tersebut.

Riset ini diketahui melibatkan dukungan dari Aliansi Vaper Indonesia, sebuah kelompok yang memiliki kepentingan langsung terhadap promosi dan keberadaan produk vape.

“Keterlibatan industri atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap produk yang diuji adalah pelanggaran terhadap standar etik penelitian kesehatan,” tegas Tulus Abadi dalam opininya.

Ia menyebut riset ini berkarakter “junk science” dan menuding BRIN telah bertindak sebagai “tukang” atau pihak yang melakukan ‘penelitian pesanan’, sehingga integritas dan objektivitas hasilnya diragukan.

Kritik ini diperkuat dengan data lain yang menunjukkan fakta kontras. Merujuk pada riset Departemen Pulmonologi FKU/RS Persahabatan, pengguna vape rutin harian justru memiliki kadar kotinin urin yang lebih tinggi (276,1\ \text{ng/mL}) dibandingkan perokok konvensional (223,5\ \text{ng/mL} untuk 5 batang/hari).

Angka ini mengindikasikan, paparan nikotin pada pengguna vape lebih besar, yang berarti risiko ketergantungan, penyakit vaskular, dan gangguan kardiovaskular pun berpotensi lebih besar.

Selain itu, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, menggarisbawahi kelemahan fatal riset BRIN: tidak memasukkan nikotin dalam analisisnya. Nikotin adalah komponen kunci yang menyebabkan adiksi dan memicu penyakit kardiovaskular.

“Tanpa memasukkan nikotin, tidak bisa disimpulkan bahwa rokok elektronik tingkat berbahayanya lebih rendah,” ujarnya.

Ruang Untuk Kebijakan Kesehatan (RUKKI) juga mencatat kelemahan signifikan lain, meliputi:

Sampel Terlalu Kecil: Hanya 60 sampel, tidak mewakili ribuan produk yang beredar.

Pengujian Terbatas: Hanya menguji 9 zat berbahaya, padahal vape dapat mengandung ratusan bahan kimia lain, termasuk logam berat dari coil pemanas.

Tidak Mencerminkan Penggunaan Nyata: Hasil tidak memperhitungkan durasi penggunaan, jenis device, atau pengaturan watt yang memengaruhi zat berbahaya.

Kritikus memperingatkan, narasi “vape lebih aman” yang diangkat dari penelitian ini sangat berbahaya.

Pengguna rokok elektrik telah meningkat tajam dari 480 ribu pada 2011 menjadi 6,6 juta pada 2021.

“Narasi BRIN memberi ilusi keamanan pada produk yang justru menjadi pintu masuk adiksi nikotin bagi orang muda,” tulis Tulus Abadi.

Ironisnya, banyak anak muda yang tadinya ingin berhenti merokok konvensional kini malah menjadi ‘double smoker’—menggunakan vape dan rokok konvensional secara bersamaan.

BRIN, sebagai lembaga riset negara yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, didesak untuk kembali pada peran intinya: memastikan masyarakat memperoleh informasi berbasis bukti yang independen dan bermutu, demi menjaga kesehatan bangsa, bukan malah berpotensi menyesatkan publik demi kepentingan industri. ***

Berita Lainnya

Terkini