![]() |
Webinar “Hutan, Gambut, dan Laut Kita” yang diselenggarakan hari ini oleh UNDP dan dan UNEP/Dok. UNDP. |
Jakarta – Masyarakat diajak menjaga ekosistem laut Indonesia yang
terancam terancam bahaya perubahan iklim dan aktivitas manusia yang
berlebihan.
Hari Kelautan Sedunia merupakan momentum tepat untuk memperkuat upaya
masyarakat menjaga ekosistem laut Indonesia yang terancam bahaya perubahan
iklim dan aktivitas manusia yang berlebihan.
Hal itu sebagaimana muncul dalam webinar “Hutan, Gambut, dan Laut Kita” yang
diselenggarakan hari ini oleh UNDP dan dan UNEP. Webinar diselenggarakan untuk
memperingati Hari Kelautan Sedunia dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5
Juni.
Koordinator nasional proyek UNDP Dwi Ariyoga Gautomo, dengan nama ATSEA2
(Arafura & Timor Seas Ecosystem Action), kondisi rusak sejumlah biota laut
seperti terumbu karang dapat mengancam punahnya populasi ikan besar di laut
Indonesia.
“KLHK dan LIPI merilis hampir 20 persen hutan bakau dan 36 persen terumbu
karang di Indonesia berada pada kondisi rusak. Ini berpengaruh pada
terancamnya spesies ikan seperti hiu dan ikan pari menuju kepunahan, yang pada
akhirnya akan berakibat pada keseluruhan ekosistem laut, dan semuanya memiliki
hubungan dengan aktivitas manusia,” ungkap Dwi.
Sejumlah tokoh hadir menyampaikan pandangan yakni Belinda Arunawati Margono,
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen PTKL,
Kementerian LHK, Johannes Kieft, spesialis teknis senior UNEP Indonesia, Nita
Yuanita, selaku wakil dekan bidang akademik FTSL ITB & dosen kelompok
keahlian teknik pantai, dan Rubama, penggiat konservasi di komunitas yayasan
HAkA (Hutan Alam Lingkungan Aceh).
Nita Yuanita, selaku wakil dekan bidang akademik FTSL ITB & dosen kelompok
keahlian teknik pantai, menyebutkan pentingnya solusi restorasi dengan
pendekatan secara alamiah untuk melindungi ekosistem laut.
Nita menyampaikan, “Solusi dengan pendekatan ke alam, seperti pemulihan hutan
bakau untuk melindungi area pesisir terbukti lebih efisien secara finansial
dan sumber daya lain”.
Selain isu mengenai restorasi laut, narasumber lain seperti Johannes Kieft,
spesialis teknis senior UNEP Indonesia, memaparkan mengenai upaya restorasi
lahan gambut.
Johannes menyebutkan, “dalam usaha merestorasi lahan gambut yang rusak seperti
akibat kebakaran hutan, diperlukan keterlibatan masyarakat dalam praktek
kearifan lokal dan timbal balik dengan ilmu pengetahuan dan penelitian yang
semakin berkembang saat ini, untuk mengoptimalkan solusi yang ada.”
Belinda Arunawati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya
Hutan, Ditjen PTKL, Kementerian LHK, menyampaikan mengenai pentingnya data dan
sistem pemantauan untuk membantu restorasi Hutan.
“Pengelolaan data yang efisien dan bisa diakses dengan mudah sangat penting
untuk menentukan langkah restorasi hutan yang diperlukan. Penggiat konservasi
di komunitas yayasan HAkA Rubama, memberikan pandangan mengenai pentingnya
keterlibatan perempuan dalam upaya restorasi.
”Keterlibatan perempuan akan memastikan representasi untuk menjaga
keberlangsungan ekosistem. Inisiatif kami melalui Mpu Uteun, yaitu membentuk
kelompok patroli hutan berbasis komunitas, dan memastikan sinergi seimbang
dengan pelibatan perempuan untuk ikut mengelola hutan.”
Para narasumber juga menyerukan perubahan perilaku konsumsi masyarakat
Indonesia untuk perlindungan hutan dan laut.
“Dalam konsep komoditas dari laut, kuncinya adalah konsumsi secara cukup dan
juga memastikan ikan yang ditangkap adalah ikan dengan usia yang dewasa,
ditangkap di daerah yang berlimpah ikannya, dan dengan cara yang memastikan
keberlangsungan ekosistem,” ujar Dwi.
Johannes Kieft juga mendorong masyarakat mengonsumsi komoditas pangan
alternatif yang lebih ramah lingkungan.
“Misalnya, jika masyarakat mulai mengonsumsi lebih banyak sagu, maka petani
pun akan mulai menanam pohon sagu, yang secara ekologis memiliki banyak
manfaat bagi ekosistem kita dan juga bagi manusia. (rhm)