Denpasar – Hasil penelitian dari Universitas Bali Internasional atau UNBI menunjukkan sebagian besar wisatawan mendukung adanya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok atau KTR di destinasi atau tempat tujuan wisata.
“Kebijakan KTR di obyek wisata, tidak akan mempengaruhi kunjungannya ke destinasi tersebut,” ujar peneliti dan dosen UNBI Made Adhyatma P.N. Kusuma saat Diseminasi Hasil Penelitian dan Diskusi Lintas Sektor terkait Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Kawasan Desa Wisata, Denpasar, Rabu 29 November 2023.
Diseminasi Hasil Penelitian dan Diskusi Lintas Sektor terkait Penerapan KTR di Kawasan Desa Wisata, digelar Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Universitas Bali Internasional bekerja sama dengan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengurus Daerah Bali.
Ditambahkan Made Adhyatma, pengelola sebagian besar juga mendukung adanya penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.
“Hanya perlu adanya regulasi yang jelas dan disosialisasikan,” sambung Made Adhyatma.
Kedua peniliti ini sepakat untuk merekomendasikan perlunya diadakan sosialisasi kembali secara berkelanjutan terkait peraturan peraturan daerah KTR.
Selain itu, perlunya pemantauan menyeluruh dalam upaya mendorong Desa Wisata dengan menyusun kebijakan implementasi regulasi Kawasan Tanpa Rokok (melalui pararem desa).
Kedunya juga menegaskan pentingnya kebijakan khusus terkait penerapan KTR untuk sektor wisata khususnya desa wisata, dikarenakan sektor pariwisata termasuk ke dalam padat karya.
Bali memiliki regulasi KTR Perda No.10 Tahun 2011, dimana di dalam Pasal 9 tempat umum yang diatur salah satunya tempat wisata.
Hanya saja, di beberapa destinasi wisata di kawasan desa wisata belum ditemukan papan informasi Kawasan Tanpa Rokok.
“Juga ditemukan wisatawan merokok sembarangan dan di titik keramaian,” ungkap Made Adhyatma.
Kepatuhan destinasi wisata dalam kawasan desa wisata terkait penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok juga dinilai masih kurang.
Pada kesempatan sama, Kepala Demografi FEB UI Dr. Abdillah Ahsan menegaskan upaya menekan jumlah perokok yang terus meningkat dengan menaikkan harga rokok.
Upaya Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Kawasan Desa Wisata di Bali, mendapat apresiasi Abdillah Ahsan.
Dikatakan, upaya penerapan KTR di Kawasan Desa Wisata ini patut didukung.
“Ini bisa jadi role model bagi daerah lain di Indonesia,” ujar dosen FEB UI Abdillah Ihsan.
Sejak tahun 2005, pihaknya mendukung Perda Rokok khususnya untuk menaikkan harga rokok dan cukainya. Dengan harga rokok yang cukup tinggi, diharapkan bisa membatasi orang untuk membelinya.
Diingatkan, bahaya rokok bagi kesehatan sangat besar kualitas SDM ditentukan dua hal yakni pendidikan dan kesehatan. Kalau sakit-sakitan tentu mengurangi produktivitas,” tambahnya.
Yang mengkhawatirkan saat ini perokok perempuan meningkat tajam, naik dari 1 persen jadi 5 persen. “Dan 60 persen pria di rumah tangga miskin merokok, sedangkan di luar negeri cuma 10 persen,” ujarnya.
Karena itu ia mendukung berbagai upaya untuk menekan bertambahnya jumlah perokok, khususnya di kalangan anak muda yang meningkat signifikan.
Ditambahkan, pemasangan tanda KTR di tempat-tempat wisata sangat penting agar orang yang datang tahu selain juga mengurangi iklan tentang rokok.
Soal masih banyaknya warga (miskin) yang merokok dikatakannya karena harganya terjangkau apalagi bisa beli eceran (ketengan).
Pada desiminasi ini pembahas dari Diskes Provinsi Bali, Disparda Bali, I Wayan Gede Dharma Yuda (Kepala Desa Mas Ubud), Dr. I Made Kerta Duana, S.K.M., MPH. dari Udayana Central memaparkan materi “Pentingnya Penegakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Pada Destinasi Wisata dan Implikasinya Terhadap Pariwisata”.
Di sela kegiatan, Ketua Pengda IAKMI Bali Ni Made Dian Kurniasari, mengatakan rokok menjadi masalah kesehatan yang harus ditanggulangi bersama karena bukan hanya menyangkut kesehatan juga ekonomi.
Disebutkan, Perda KTR relah dimiliki Bali hanya saja implementasinya masih perlu ditingkatkan.
“Karena itu penting menyusun strategi sehingga kebijakan bisa diterapkan. Perlu sidak kepatuhan Perda KTR,” imbuhnya.***