Yogyakarta – Tuntutan global untuk segera mencapai netralitas karbon semakin mendesak, mendorong semua negara, termasuk Indonesia, untuk mengambil langkah nyata.
Hal ini diperkuat oleh Perjanjian Paris, yang menargetkan emisi \text{CO}_2 Net Zero secara global pada tahun 2050.
Menyambut seruan iklim ini, Indonesia melalui dokumen terbaru Nationally Determined Contribution (NDC) menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen pada tahun 2030 mendatang.
Isu pengurangan emisi karbon dinilai memiliki keterkaitan erat dengan upaya penanggulangan ancaman krisis air, pangan, dan energi global.
Hal ini disampaikan oleh Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Air yang juga Mantan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi.
“Semua tantangan tersebut saling terhubung erat. Karena ketiganya terhubung dengan tujuan pembangunan yang berkelanjutan dengan air, pangan dan energi menjadi elemen yang utama,” ujar Retno melalui video daring dalam konferensi internasional di bidang energi, Astechnova 2025, Rabu (8/10) di Hotel Alana Yogyakarta.
Retno menambahkan, keterbatasan air bersih merupakan persoalan bersama karena ketersediaannya terus berkurang, sementara kebutuhannya terus meningkat untuk pembangunan industri dan rumah tangga.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, ia menekankan perlunya koherensi kebijakan yang kuat, mengingat dunia dan Indonesia juga dihadapkan pada persoalan menjaga keseimbangan populasi yang secara langsung memengaruhi kebutuhan sumber daya.
Nuklir sebagai Solusi Jangka Panjang dan Tantangan Pemanfaatan \text{CO}_2
Dalam konferensi tersebut, pemanfaatan sumber energi berkelanjutan juga menjadi sorotan.
Carolyn Scherer, perwakilan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui program Innovative Nuclear Reactors and Fuel Cycles (IMPRO), menuturkan energi nuklir dianggap sangat kompetitif dalam jangka panjang.
“Reaktor modern dirancang untuk beroperasi selama 60 hingga 80 tahun. Jauh lebih lama dari 40 tahun reaktor pada generasi pertama,” jelasnya.
IMPRO sendiri berupaya memastikan tenaga nuklir dapat digunakan secara berkelanjutan, kompetitif, meminimalkan risiko proliferasi, dan memiliki dampak lingkungan yang minimal.
Sementara itu, Guru Besar Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, FT UGM, Prof. Andang Widi Harto, mendorong pemanfaatan teknologi yang mampu menyerap emisi \text{CO}_2 dari atmosfer untuk diubah menjadi produk bernilai jual, seperti pupuk urea dan hidrokarbon sintetik.
Namun, ia menegaskan keberhasilan konsep ini bergantung pada satu elemen penting: Hidrogen (\text{H}_2).
“Tanpa hidrogen, konsep menghasilkan \text{CO}_2 tidak dapat diikuti untuk menjadi produk yang bernilai ekonomi,” tegas Prof. Andang.
Konferensi internasional Astechnova 2025 diikuti oleh lebih dari 300 peserta dari 8 negara.
Dekan FT UGM, Prof. Selo, berharap konferensi ini mampu memunculkan ide dan gagasan baru serta meningkatkan kolaborasi antara akademisi, industri, pemerintah, dan mitra internasional dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. ***